Periode Perkembangan Industri Asuransi
a. Priode Tahun 1988 - 1992
Untuk meningkatkan daya serap kapasitas nasional dengan tujuan
memperkuat industri asuransi nasional dan mengurangi devisa dari
premi reasuransi keluar negeri, Pemerintah mengeluarkan paket
deregulasi yang dikenal dengan Pakdes 1988 melalui Keputusan
Presiden Nomor 40 Tahun 1988 menggantikan Keputusan Presiden
Nomor 65 Tahun 1969 beserta aturan pelaksanaannya.
Konsekuensi
dari aturan baru ini antara lain adalah otoritas regulator menjadi tidak
terlihat dalam penetapan suku premi asuransi, sehingga tarif yang
semula mendapat legitimasi Pemerintah dikembalikan kepada industri
dan mekanisme pasar.
Kebijakan pemerintah ini seharusnya membawa dampak positif
bagi pasar jika industri asuransi cukup dewasa dan mampu
memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik untuk membenahi
keadaan khususnya masalah persaingan harga.
Dalam kenyataannya,
mekanisme pasar tetap tidak membaik dan persaingan yang tidak sehat
tetap berlanjut. Dewan Asuransi Indonesia kemudian berupaya untuk
ikut mengamankan kebijakan Pemerintah, dengan prakarsa membuat
kesepakatan bersama antar perusahaan asuransi.
Kesepakatan
ditandatangani oleh seluruh perusahaan anggota, namun demi
kepentingan mikro masing-masing perusahaan, sangat sulit bagi
anggota untuk mematuhinya.
Perhatian Pemerintah dalam mengembangkan industri asuransi
dilanjutkan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian sebagai landasan hukum Industri
Asuransi di Indonesia.
b. Periode Undang-Undang Perasuransian 1993 - 1998 (Krisis Ekonomi dan Huru-hara)
Persaingan yang sehat seharusnya tidak terjadi dalam layanan
primer (primary services) tetapi boleh terjadi dalam layanan sekunder
(secondary services). Layanan primer adalah harga pokok risiko atau
suku premi yang besarannya harus dihitung berdasarkan statistik,
analisis risiko dan keputusan underwriting (underwriting judgement).
Penetapan suku premi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang benar
akan menghadapkan perusahaan pada spekulasi ketidakseimbangan volume premi dengan eksposur kerugian, ketidakstabilan hasil yang
diharapkan dan bahkan dapat berakibat pada kesulitan keuangan.
Layanan sekunder sejauh itu belum dikembangkan secara intensif
dalam konsep customer retention management, sebagai alat bersaing
dan membangun loyalitas konsumen. Kenyataan ini pula yang kurang
mendukung keberhasilan deregulasi (Pakdes 1988) dan Undangundang Nomor 2 Tahun 1992 dalam memperbaiki praktek usaha dan
persaingan.
Kondisi industri asuransi yang belum membaik tersebut
kemudian harus menghadapi krisis multi dimensi dan klaim akibat
kerusuhan bulan Mei 1998. Kerusuhan Mei 1998 telah membebankan klaim asuransi yang
harus dibayar oleh industri asuransi.
Peristiwa itu juga telah membawa
dampak positif dengan meningkatnya kesadaran masyarakat urban
akan pentingnya asuransi. Sejak peristiwa tersebut, permintaan
asuransi dari segmen ritel (personal lines) khususnya asuransi
kebakaran dan kendaraan bermotor mulai meningkat secara signifikan
dan terus berkembang hingga sekarang.
Permintaan yang sama juga
datang dari kalangan industri di wilayah luar untuk antisipasi
timbulnya social unrest dikalangan buruh dilingkungan usahanya.
c. Periode 1999 hingga sekarang
Konvensi internasional melalui WTO dan GAT telah mendorong
Pemerintah sebagai salah satu signatory untuk melakukan deregulasi
berbagai sektor jasa keuangan. Langkah deregulasi ini tercermin
diantaranya pada kebijakan Pemerintah yang berusaha untuk membangun industri asuransi yang kuat dan sehat.
Hal ini antara lain
dilakukan dengan upaya untuk meningkatkan modal perusahaan
asuransi dan reasuransi secara bertahap.
Bagi perusahaan-perusahaan asuransi yang sudah mendapat ijin
dan sudah beroperasi, ditetapkan aturan untuk mengukur kesehatan
keuangan atau solvency requirement berdasarkan formulasi Risk Based
Capital (RBC) yang pada akhir tahun 2004 harus sudah mencapai
120%.
Selain RBC, untuk membatasi perusahaan-perusahaan asuransi
agar tidak sampai menanggung kewajiban klaim yang lebih besar dari
kemampuan keuangannya, diberlakukan ketentuan bahwa jumlah
Premi Netto setinggi-tingginya 300% dari Modal sendiri.
Pemerintah melakukan pengawasan dan pemantauan secara
seksama demi terpenuhinya ketentuan RBC atau batasan Premi Netto.
Non compliance terhadap ketentuan tersebut mengharuskan
perusahaan asuransi dan reasuransi untuk menambah modal atau
membatasi operasi atau volume bisnisnya.
Posting Komentar untuk "Periode Perkembangan Industri Asuransi "