Kondisi Pembangunan Kesehatan Indonesia saat Ini
Ketahanan Kesehatan dan Pengendalian Penyakit
Pada masa pandemi Covid-19, ketahanan kesehatan dan pengendalian penyakit di Indonesia masih
lemah.
Pengendalian pandemi belum disertai surveilans yang cepat dan handal serta kapasitas testing
dan tracing yang masih rendah karena kapasitas SDM dan jejaring laboratorium surveilans terbatas,
serta manajemen data yang lemah (Bappenas, 2021).
Temuan penting dari JEE 2017 menunjukan
koordinasi lintas sektor merupakan titik lemah dalam mencegah, mendeteksi, dan menanggapi
keadaan darurat kesehatan masyarakat (Kemenkes, 2019). Dalam aspek pengendalian penyakit selain
peningkatan penyakit tidak menular, Indonesia masih harus menghadapi penyakit menular dan masih
ditemukan penyakit tropis terabaikan (neglected tropical diseases) (Gani dan Budiharsana, 2019).
- Berdasarkan laporan WHO, Indonesia menempati peringkat ke-3 di dunia dalam hal insidensi TB (301 per 100.000 penduduk) pada tahun 2020 dengan estimasi angka kasus mencapai 824.000 (Global TB Report, 2021). Hingga tahun 2021, cakupan pengobatan TB hanya 46% dengan keberhasilan pengobatan hanya 83% (Kemenkes, 2021). Dengan kondisi pengendalian TB tahun 2020 dan diperparah kondisi pandemi, target RPJMN tahun 2024 yaitu penurunan insidensi TB menjadi 190 per 100.000 diperkirakan sulit untuk dicapai.
- Hingga tahun 2021 sebanyak 318 kabupaten/kota di Indonesia dengan status eliminasi malaria. Adapun 3 provinsi dengan endemisitas malaria yang tinggi adalah Papua, Papua Barat, dan NTT (Kemenkes, 2021). Untuk mencapai target eliminasi malaria tahun 2024 di 405 kabupaten/kota dan Indonesia bebas malaria di tahun 2030 diperlukan upaya percepatan eliminasi khususnya di daerah dengan status endemis tinggi malaria.
- Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah kasus kusta tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Meskipun Indonesia saat ini sudah mencapai status eliminasi kusta (prevalensi <1 per 10.000 penduduk) dengan angka prevalensi nasional mencapai 0,49 per 10.000 penduduk pada tahun 2020, namun demikian di tingkat daerah sebanyak 98 kab/kota dan 6 provinsi belum mencapai status eliminasi. Proporsi kasus kusta baru pada anak tahun 2021 sebesar 10,6% dari total kasus (Kemenkes, 2021). Angka ini menunjukkan penularan penyakit kusta pada anak dari orang terdekat masih tergolong tinggi. Beberapa penyakit NTDs lainnya juga belum sepenuhnya dapat diselesaikan. Hingga triwulan III tahun 2021, tercatat masih ada 26 desa endemis schistosomiasis.
- Capaian imunisasi dasar lengkap (IDL) pada anak usia 12-23 bulan sebesar 57,9% (Riskesdas, 2018) dan 65,8 (SSGI, 2021) masih rendah bila dibandingkan dengan target yang perlu dicapai pada tahun 2024 dalam RPJMN 2020-2024 yaitu sebesar 90%. Di samping itu, dari aspek pemerataan IDL persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen IDL pada tahun 2020 hanya sebesar 37,2% (hanya 191 kabupaten/kota), lebih rendah dibanding tahun 2019 (73,5%) dan tahun 2018 (72,8%) (Kemenkes, 2020).
Pelayanan Kesehatan
Dalam penyediaan layanan kesehatan, Indonesia mengadopsi model campuran pelayanan kesehatan
oleh publik dan swasta. Jumlah fasilitas kesehatan yang dibangun oleh pemerintah dan swasta
mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Namun, ketidakcukupan jumlah dan ketimpangan sebaran
fasyankes antardaerah masih tetap terjadi terutama di daerah timur Indonesia dan daerah tertinggal,
perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Ketersediaan SDM kesehatan di puskesmas masih belum
mencukupi dan jenis petugas minimal puskesmas sesuai standar masih belum terpenuhi.
Ketersediaan
obat dan vaksin esensial di puskesmas masih belum mencukupi. Ketersediaan sarana & prasarana
penunjang masih bervariasi antar fasyankes dan alat kesehatan masih belum terpenuhi secara lengkap
di fasyankes primer.
Di era desentralisasi, kendali pusat atas masalah kesehatan di tingkat
kabupaten/kota mulai berkurang, sehingga perkembangan pelayanan kesehatan dasar antardaerah
bervariasi tergantung pada komitmen daerah, kapasitasfiskal,serta pemenuhan fasilitas, SDM, sarana
dan prasarana. Permasalahan yang paling menonjol adalah kekosongan atau kekurangan SDM
kesehatan.
Sejak desentralisasi, sebagian besar belanja kesehatan daerah diperuntukkan bagi
pelayanan kesehatan kuratif, belanja modal, dan belanja pegawai. Sementara, belanja untuk
pelayanan kesehatan masyarakat cukup kecil (Bappenas, 2018).
Pelayanan kesehatan dasar dalam Deklarasi Alma Ata tahun 1978 diterjemahkan sebagai “pelayanan
kesehatan esensial yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, dapat diterima secara sosial,
dapat diakses oleh setiap individu/keluarga, diselenggarakan dengan peran serta masyarakat, secara
ekonomis dapat ditanggung oleh masyarakat dan negara, disertai dengan semangat kemandirian (selfreliance and self-determination)” (Bappenas, 2018).
Sementara itu, dalam referensi terbaru PHC yang
dipublikasi oleh WHO dan UNICEF tahun 2020 “Operational Framework for Primary Health Care:
Transforming Vision into Action”, PHC didefinisikan sebagai “a whole-of-society approach to health
that aims to maximize the level and distribution of health and well-being through three components:
- primary care and essential public health functions as the core of integrated health services;
- multisectoral policy and action; and
- empowered people and communities” (WHO & UNICEF, 2020).
Sampai saat ini, pelayanan kesehatan dasar belum mampu menjawab permasalahan kesehatan
masyarakat. Kondisi tersebut diindikasikan dengan capaian indikator kesehatan masyarakat yang
stagnan seperti cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) yang cenderung stagnan dari 59,2% (Riskesdas,
2013) menjadi 57,9% (Riskesdas, 2018) dan 65,8% (SSGI, 2021).
Indikasi lainnya ditunjukkan dengan
tren angka kematian ibu dan angka kematian bayi, serta berbagai penyakit menular dan tidak menular
yang masih cukup tinggi. Pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan
Rumah Sakit (RS) dihadapkan pada disparitas akses dan mutu pelayanan kesehatan khususnya di
daerah sulit akses.
Meskipun jumlah fasyankes yang dibangun mengalami peningkatan setiap tahun,
tetapi ketersediaan dan sebarannya masih belum merata antardaerah. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019, Puskesmas wajib tersedia minimal 1 di setiap kecamatan
yang disesuaikan dengan beban jumlah masyarakat yang dilayani di wilayahnya.
Hingga Desember
2020, masih terdapat 171 Kecamatan yang belum memiliki Puskesmas dengan 156 berlokasi di Pulau
Papua (Kemenkes, 2020). Kualitas pelayanan kesehatan di fasyankes tercermin dari status akreditasi.
Hingga tahun 2020 baru 46,37% FKTP (9.332 FKTP) yang sudah terakreditasi dengan 37,7% di
antaranya di Pulau Jawa. Dari seluruh Puskesmas yang terakreditasi, 79% di antaranya baru memenuhi
standar akreditasi dasar atau madya dan hanya 239 Puskesmas (3%) yang sudah memenuhi standar
akreditasi paripurna. Tabel 1 menunjukkan sebaran Puskesmas terakreditasi di seluruh Provinsi.
Implementasi Program JKN mendorong masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan dasar
sebagai kontak pertama dengan sistem pelayanan kesehatan, sehingga mendorong utilisasi pelayanan
kesehatan dasar baik milik publik maupun swasta.
Di sisi lain, regulasi yang ada hanya mengatur
fasyankes publik untuk harus memberikan layanan preventif dan promotif sementara fasyankes
swasta tidak harus memberikan layanan tersebut. Parameter yang berbeda-beda dalam memberikan
layanan antara pelayanan kesehatan dasar menciptakan kesenjangan dalam tanggung jawab
memberikan layanan promotif-preventif.
Sementara di daerah perkotaan, terjadi kecenderungan
masyarakat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan swasta (klinik swasta/dokter praktik
mandiri) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar yang lebih nyaman.
Namun, kepatuhan
pelayanan kesehatan swasta dalam melaporkan kasus penyakit masih rendah.
Tantangan terberat FKTP termasuk puskesmas di era JKN ini adalah memperkuat upaya promotif dan
preventif.
Pelayanan kuratif cenderung menjadi kegiatan utama di FKTP dibandingkan upaya
mendorong hidup sehat seperti edukasi, surveilans, maupun pemberdayaan masyarakat. Selain itu,
penduduk usia 10-18 tahun yang merokok juga meningkat dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018).
Kondisi ini menyebabkan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) cenderung mengalami kenaikan
salah satunya prevalensi hipertensi pada penduduk di atas 18 tahun berdasarkan pengukuran
meningkat menjadi 34,1% (Riskesdas, 2018) dari 25,8% (Riskesdas, 2013).
Pelibatan fasilitas
pelayanan kesehatan swasta masih rendah, sementara itu potensi pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh pihak swasta cukup tinggi.
Untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), disamping
terdapat 10.200 puskesmas juga terdapat 14.000 klinik pratama yang perlu terakreditasi dan lolos
proses kredensialing oleh BPJS kesehatan sehingga dapat meringankan beban pelaksanaan UKP
puskesmas dan redistribusi peserta JKN.
Dengan demikian, puskesmas dapat lebih fokus pada
peningkatan kinerja upaya kesehatan masyarakat (UKM). Pemerintah juga perlu membantu insentif
kepada pihak swasta untuk membangun FKTP dan RS di daerah sulit (misalnya kemudahan
memperoleh lahan dan bantuan pemerintah untuk mengalokasikan SDM di RS dan FKTP swasta).
Rasio TT RS Indonesia saat ini mencapai 1,18 per 1.000 penduduk yang masih lebih rendah
dibandingkan rerata Asia (3,3/1.000) dan negara OECD (4,8/1.000). Selain itu, di tingkat daerah masih
ditemukan ketimpangan, misalnya rasio TT RS wilayah Nusa Tenggara baru 0,76/1.000 sementara di
Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki surplus dengan rasio 3,03 TT per 1.000 penduduk (Kemenkes,
2022).
Kondisi tersebut menunjukkan disparitas yang cukup dalam antarwilayah di Indonesia. Data
Podes 2019 menunjukkan lebih dari 51% kecamatan di wilayah Indonesia timur memiliki akses sulit ke
RS.
Hal ini menunjukkan keterlibatan swasta dalam
peningkatan akses maupun kualitas RS di Indonesia cukup vital dan perlu dilibatkan dalam sistem
rujukan maupun layanan unggulan yang berlaku saat ini.
Saat ini, sistem rujukan berbasis regionalisasi
yang ada belum berjalan optimal karena terbatasnya sarana prasarana, kapasitas SDM, dan
ketimpangan jumlah, mutu, & akses ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Saat ini masih banyak FKTP yang
merujuk pasien pada fasyankessekunder dan tersier karena ketidakmampuan melakukan penanganan
kasus, sementara itu sistem rujukan berbasis kompetensi juga masih terkendala geografis, jarak,
transportasi, dan pendanaan (Wibisana, 2019).
Digitalisasi Pelayanan Kesehatan
Pemanfaatan teknologi dalam pembangunan kesehatan diarahkan pada dua hal, yaitu digitalisasi
pelayanan kesehatan dan digitalisasi sistem informasi kesehatan. Dalam pelaksanaannya, masih
ditemukan banyak kendala dalam upaya digitalisasi pelayanan kesehatan salah satunya masih belum
meratanya ketersediaan jaringan internet.
Data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) tahun 2019
menunjukkan bahwa masih terdapat 13% Puskesmas yang memiliki sinyal internet terbatas. Selain
itu, belum ada formasi tenaga khusus pengelola sistem informasi kesehatan di Puskesmas, sehingga
upaya digitalisasi pelayanan maupun sistem informasi belum optimal.
Salah satu implikasi di tingkat
pelayanan kesehatan adalah proses pelayanan yang masih manual, sehingga proses pelayanan
kesehatan kurang efisien dan berpotensi terjadinya kekeliruan dalam proses rekapitulasi data.
Pemanfaatan teknologi informasi di sektor kesehatan juga masih belum optimal seperti
pengembangan telemedicine Kemenkes untuk menghubungkan pelayanan kesehatan rujukan dalam
pemberian konsultasi pelayanan kepada FKTP atau RS di wilayah terpencil.
Hingga 2020, baru 79 RS
dan Puskesmas yang diampu dan aktif dalam telemedicine (Kemenkes, 2020). Pandemi Covid-19 juga
memberikan pelajaran dengan mulai meningkatnya provider swasta dalam penyediaan layanan
kesehatan berbasis online yang perlu diimbangi dengan kebijakan Pemerintah terutama dari aspek
keamanan data.
Perkembangan tersebut menuntut akselerasi perhatian Pemerintah dalam mengelola
ekosistem teknologi pelayanan kesehatan yang menjadi bagian dari penguatan sistem kesehatan
nasional.
Kendala utama dalam sistem informasi kesehatan yang ada saat ini yaitu aplikasi dan sistem pelaporan
yang belum terintegrasi.
Di tingkat pusat, Kemkes memiliki 207 sistem informasi kesehatan yang
tersebar di berbagai unit. Hal ini tentunya menimbulkan potensi multi entry dan meningkatkan beban
administrasi di tingkat fasilitas kesehatan.
Saat ini sedang ada upaya untuk menyatukan data tersebut,
namun proses pencatatan dan pelaporan data dengan sistem single entry belum terwujud. Di tingkat
daerah, setiap unit memiliki sistem informasi tersendiri dengan format pencatatan dan pelaporan
berbeda.
Beberapa pelaporan juga masih dilakukan secara manual. Hal ini tentunya berimplikasi pada
meningkatnya beban administrasi di fasilitas kesehatan mengingat potensi duplikasi dan tidak
sinkronnya data antara sistem informasi pusat dan daerah yang tinggi.
Dengan demikian, kesulitan
muncul dalam upaya integrasi data yang ada, termasuk keterpaduan antarsistem dan antar pusat,
daerah, dan swasta (Bappenas, 2018). Selain itu, data penerima program-program pemerintah perlu diintegrasikan dalam satu sistem, sehingga pelaksanaan program dapat berjalan sesuai dengan target
sasaran.
Ke depan, digitalisasi menjadi drivers utama dalam reformasi sistem kesehatan nasional,
sehingga menjadi hal yang perlu ditingkatkan pemanfaatannya dalam pembangunan kesehatan
khususnya dalam pelayanan kesehatan dan pemanfaatan data kesehatan.
Posting Komentar untuk "Kondisi Pembangunan Kesehatan Indonesia saat Ini"