Paradoks dalam Kehidupan Manusia dan Masyarakat
Kitab Kej. 1:31 mengatakan: “maka Allah melihat segala
sesuatu yang dijadikan- Nya itu, sungguh amat baik.” Pada sisi yang lain, kita
juga belajar atau menyaksikan dan bahkan mengalami sendiri sisi-sisi kelam
dari kehidupan manusia.
Berapa perang yang terjadi karena alasan agama atau
ideologi? Berapa banyak koruptor di tanah air ini yang tega memperkaya diri
dan membuat orang lain menderita? Berapa banyak orang tamak yang hanya
menumpuk kekayaan sendiri kalau perlu dengan eksploitasi orang lain atau
alamini?
Apakah kata-kata Mahatma Gandi masih mempunyai arti: “the earth
provides enough for everybody’s need but not for everybody’s greed.” Kita
umumnya tahu juga apa yang baik yang seharusnya kita lakukan tetapi kita
tidak berdaya melakukannya bahkan yang sebaliknya yang kita lakukan (lih.
Rm 7: 21-24).
Inilah paradoks kehidupan manusia. Lalu bagaimana
menjelaskannya? untuk membedakan yang baik dari yang jahat, yang benar
dari yang salah, serta memiliki kebebasan untuk memilih melakukan yang baik
atau yang jahat.
Hal-hal ini adalah kemampuan-kemampuan yang bersifat
netral dan terdapat pada pengalaman manusia. Semua yang diuraikan di atas
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia dan baik.
Lebih dari itu, manusia juga mempunyai kemajuan yang mengagumkan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat mempermudah hidup manusia,
dan menjadikan hidupnya lebih manusiawi.
Anehnya pada sisi lain, manusia
juga dihadapkan pada berbagai permasalahan akibat berbagai ulahnya sendiri
yang tidak bertanggung jawab. Paradoks ini membawa kita kepada pertanyaan
mengapa? Banyak jawaban diberikan oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
maupun filsafat, termasuk juga agama.
Dalam kekristenan dipercayai bahwa paradoks ini terjadi karena manusia telah
jatuh ke dalam dosa (lih. Kej. 3). Silakan Anda mengumpulkan informasi dari
buku-buku dan sumber belajar yang lain yang menunjukkan bahwa paradoks
ini terjadi karena manusia telah jatuh ke dalam dosa.
Dosa dipahami bukan
sekadar pelanggaran moral, tetapi sikap memberontak kepada Allah, yakni
menolak otoritas Allah yang menentukan tujuan hidup manusia. Dosa dapat
dikatakan sebagai pelanggaran terhadap kehendak Allah seperti tercermin
dalam hukum utama-Nya.
Dosa memang mengandung konsekuensikonsekuensi etis dan moral dalam berbagai dimensi hubungan manusia:
dalam hubungan dengan sesama, diri sendiri, dan alam semesta. Inilah yang
sering kali disebut sebagai persoalan-persoalan etis yang rumit dan
menentukan kelangsungan hidup planet bumi dan masyarakat kita.
Memang
dosa mengambil bentuk dalam dosa pribadi tetapi juga dosa sosial. Dalam
tradisi agama, lebih banyak ditekankan dosa pribadi dibandingkan dengan
dosa sosial. Kita perlu mengakui dosa-dosa pribadi kita dan juga dosa kolektif
atau sosial.
Dosa pribadi seperti ketamakan dapat membawa konsekuensi
penderitaan sesama, namun dosa sosial berupa sistem dan struktur yang tidak
adil bahkan lebih merusak dan membawa konsekuensi yang lebih berat bagi
lebih banyak orang.
Silakan Anda mengumpulkan informasi lebih lanjut
mengenai contoh-contoh dosa pribadi dan sosial!
Karena hakikat manusia sebagai makhluk sosial, dosa tidak dapat dibatasi
hanya sebagai dosa pribadi/individu, tetapi juga harus dipahami sebagai dosa
sosial.
Gregory Baum dalam Religion and Alienation, mengartikan dosa sosial
dalam kaitan dengan pelakunya: yakni kolektivitas suatu kelompok, suatu
komunitas, suatu umat. Jadi, yang dia maksudkan dosa sosial ialah dosa yang
dihasilkan tanpa sengaja atau pilihan bebas.
Dosa tersebut menghasilkan
konsekuensi yang jahat tetapi pelakunya tidak merasa bersalah dalam
pengertian yang biasa. Jadi, dosa sosial dilakukan karena
kebutaan/ketidaksadaran kolektif. Orang terlibat dalam tindakan destruktif
tanpa menyadarinya.
Dalam kaitan itu, Baum (1975, 201) juga mencoba mendeskripsikan dosa
sosial dalam berbagai level atau tingkatan.
Tingkatan pertama dari dosa sosial
terdiri atas kecenderungan-kecenderungan yang tidak adil dan tidak
manusiawi (dehumanizing) yang terbangun dalam berbagai institusisosial,
politis, ekonomi, agamawi, yang merupakan perwujudan dari kehidupan
kolektif manusia.
Pada saat kita melakukan pekerjaan harian, kita memenuhi
kewajiban-kewajiban kita, kecenderungan yang destruktif yang terbangun
dalam institusi kita, akan merusak semakin banyak orang dan akhirnya
menghancurkan kemanusiaan kita.
Kejahatan sosial ini bisa saja berjalan terus
tanpa benar-benar disadari. Konsekuensinya, butuh waktu yang lama untuk
disadari.
Tingkatan kedua dari dosa sosial mengambil bentuk simbol-simbol kultural
dan agamawi, yang hidup dalam imajinasi dan didukung oleh masyarakat,
yang membenarkan serta memperkuat (reinforce) lembaga-lembaga
(institutions) yang tidak adil, dan karena itu memperburuk kerugian/ kerusakan
terhadap banyak orang. Lagi-lagi dalam hal inipun kita tak menyadari
akibatnya.
Tingkatan ketiga, dosa sosial merujuk kepada kesadaran palsu yang diciptakan
oleh institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang digunakan umat untuk
melibatkan diri mereka secara kolektif, dalam tindakan-tindakan destruktif
seolah-olah mereka melakukan hal yang benar.
Kesadaran palsu ini meyakinkan kita bahwa kejahatan yang kita buat adalah justru hal yang baik
untuk menjaga tujuan demi kesejahteraan bersama.
Menurut Baum, contoh-contoh dari masyarakat kita sendiri misalnya orientasi
“achievement” (pencapaian/kesuksesan) dari budaya dominan, spiritnya yang
individualistis dan kompetitif, dan juga arogansi kolektif tentang
pemahaman diri sendiri bersama dengan rasismenya.
Sudah tentu kesadaran
palsu ini ada atau mengambil bentuk dengan intensitas yang bermacammacam derajatnya, mulai dari identifikasi total dengan tren dominan dari
masyarakat, termasuk semua efek sosialnya, ke pembuatan jarak yang
semakin lebar dengan tren-tren tadi serta kesadaran yang semakin
bertumbuh tentang ketidakadilan di dalamnya.
Pada tingkat inilah perlawanan
kita terhadap dosa sosial mulai. Banyak ahli mengkaitkannya dengan kritik
ideologi, atau dalam bahasa Freire, konsientisasi.
Secara kristiani, di sini,
bilamana seseorang terbuka pada pekerjaan Roh Kudus, dia dimampukan
untuk menyadari dan berpaling dari ketidakadilan yang terjadi tanpa sadar di
dalam masyarakatnya. Pada level tiga inilah terjadi pertobatan menurut Baum.
Tingkatan keempat, pada tingkat ini dosa sosial terdiri dari keputusankeputusan kolektif, yang diperkuat oleh kesadaran yang didistorsi, yang
meningkatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan memperkuat kekuasaan
dari tren-tren dehumanisasi.
Keputusan-keputusan kolektif oleh parlemen,
atau pengurus yayasan baik sekuler maupun agamawi, tampaknya seolah
didasarkan pada pilihan bebas.
Dosa dapat mengambil bentuk secara sosial
dan struktural, misalnya dengan berbagai ketidakadilan yang ada dalam
berbagai tatanan sosial kemasyarakatan dalam bidang ekonomi, politik,
kebudayaan, hubungan antaragama, dan lain-lain.
Posting Komentar untuk "Paradoks dalam Kehidupan Manusia dan Masyarakat"