Allah Penyelamat Dalam Agama Kristen
Mulai dari agama primitif yang
percaya roh-roh, maupun agama politeisme yang percaya banyak ilah/dewa/i,
sampai ke agama monoteisme, ajaran mengenai keselamatan dan Allah
sebagai penyelamat selalu hadir.
Memang maknanya berbeda dari satu agama
ke agama lain. Bahkan maknanya dalam satu agama pun cukup bervariasi dan
luas.
Keselamatan dalam agama tertentu bisa melulu, merupakan
pengalaman masa kini dan di sini, bisa juga melulu pengalaman nanti, di
masa yang akan datang sesudah kehidupan ini, tetapi bisa juga kedua-duanya.
Ajaran atau ide tentang keselamatan mungkin merupakan salah satu faktor
yang mendorong orang untuk beragama. Sebagai contoh, kita dapat menunjuk
kepada berbagai upacara keagamaan dalam berbagai agama.
Banyak upacara
dalam agama-agama suku misalnya, dilakukan dalam rangka atau sebagai
upaya untuk memeroleh keselamatan, apa pun maknanya. Misalnya sebelum
seseorang bepergian jauh, maka upacara selamatan dilakukan agar
memeroleh keselamatan di jalan atau di tempat pekerjaan.
Orang-orang
mengadakan serangkaian upacara menjelang musim menanam agar selamat,
dalam arti terhindar dari kegagalan apakah karena iklim atau wabah hama.
Dalam kasus-kasus di atas, keselamatan semata-mata mempunyai dimensi
masa kini dan di sini.
Sebaliknya, banyak juga upacara keagamaan yang dilakukan dalam rangka
memeroleh keselamatan di akhirat yakni sesudah kematian, misalnya untuk
masuk surga atau hidup yang kekal, apa pun arti yang diberikan kepada surga
dan kehidupan kekal tersebut.
Dengan demikian, ada hubungan erat antara
keselamatan, agama, dan Allah. Hal ini tak berarti bahwa mereka yang tidak
beragama atau tidak percaya kepada Tuhan tak mempunyai konsep
keselamatan.
Setidak-tidaknya bagi mereka, keselamatan merupakan situasi
terlepas atau terhindar dari bermacam-macam bahaya, ancaman, penyakit,
dan lain-lain. Memang patut diakui bahwa semakin maju dan berkembangnya ilmu dan teknologi, banyak persoalan manusia dapat diatasi.
Namun, ketika
manusia menyadari baik keterbatasan manusia maupun ilmu dan teknologi,
manusia cenderung kembali kepada kepercayaan akan Tuhan atau yang
dianggap Tuhan.
Dalam ajaran Kristen, ajaran tentang keselamatan dan Allah sebagai
penyelamat khususnya dalam Yesus Kristus mempunyai tempat yang sangat
penting bahkan sentral.
Sedemikian sentralnya sehingga dalam Pengakuan
Iman Rasuli, fakta Kristus, mulai dari praeksistensi-Nya, kelahiran, pekerjaan,
penderitaan, kematian, kenaikan ke surga, dan kedatangan-Nya kembali,
mengambil tempat yang sangat banyak.
Silakan Anda mengamati Pengakuan
Iman Rasuli secara saksama. Sesungguhnya agama Kristen lahir karena
kepercayaan akan Allah sebagai Penyelamat di dalam Yesus Kristus. Sebutan
Kristen justru dikenakan kepada orang-orang yang menjadi pengikut Kristus.
Kepercayaan kepada Allah sebagai Penyelamat bukan berarti bahwa orang
Kristen menyembah lebih dari satu Allah, karena Allah Pencipta adalah juga
Allah yang menyelamatkan. Silakan Anda mengamati Alkitab yang
memperlihatkan bahwa Allah yang menyelamatkan umat manusia.
Daftarkanlah nama kitab yang memperlihatkan dengan jelas bahwa Allah yang
menyelamatkan umat manusia.
Perlu dicatat bahwa konsep tentang Allah sebagai Penyelamat bukan
monopoli Perjanjian Baru, tetapi sudah ada dalam Perjanjian Lama.
Umat
Perjanjian Lama mempunyai syahadat (pengakuan percaya) bahwa Allah itu
menyelamatkan. Silakan Anda membaca dan mengamati Kel. 14:13 dan Mzm.
3:8; 62:2-3.
Ada berbagai istilah yang dipakai oleh PL yang menunjuk kepada konsep
keselamatan.
Konsep ini dihubungkan dengan Tuhan sebagai yang melakukan
tindakan penyelamatan terhadap umat-Nya. Ada berbagai tindakan
penyelamatan Allah terhadap umat-Nya. Kitab Keluaran 15 merupakan pasal
pertama yang mengungkapkan tindakan penyelamatan Allah dalam sejarah
umat Israel.
Musa dalam lagunya untuk merayakan peristiwa pembebasan
umat Allah dari perbudakan di Mesir, antara lain berkata: “Tuhan telah
menjadi keselamatannya” (Kel. 15:2).
Tindakan penyelamatan Allah dalam
peristiwa keluar dari Mesir melalui Laut Teberau ini, telah memberi kesan yang
sangat mendalam dalam sanubari dan ingatan bangsa Israel. Oleh karena itu,
peringatan akan peristiwa tersebut dirayakan setiap tahun dalam perayaan
Paskah (lih. Ul. 16:1).
Pembebasan dari Mesir justru merupakan bukti paling utama dan kuat tentang kasih setia Tuhan, karena hal itu merupakan tanda
yang sentral dari PL tentang anugerah penyelamatan bagi umat yang baru
kelak. Silakan Anda mengamati proses keluarnya umat Israel dari Mesir dalam
Kitab Keluaran 1-15.
Itu pula sebabnya dalam pembukaan Dekalog (Sepuluh Perintah),
peristiwa pembebasan dari Mesir juga disebutkan kembali dan menjadi dasar
dari respons moral kepada Tuhan.
Dengan kata lain, hukum-hukum Tuhan
yang merupakan refleksi kehendak Tuhan tentang bagaimana umat Allah
seharusnya menjalani hidupnya, didasarkan pada peristiwa penyelamatan
Allah melalui pembebasan dari Mesir.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah makna dari konsep keselamatan dalam
PL tatkala Allah sebagai Penyelamat? Harus diakui bahwa dalam PL, makna
atau arti konsep keselamatan itu mengalami perkembangan.
Kalau kita
bertanya “dari apakah Allah menyelamatkan umat-Nya?” Maka jawaban yang
umum, khususnya pada sejarah awal dari umat Allah dalam PL, adalah
“keselamatan dari segala bentuk ketidakberuntungan, perbudakan, sakit
penyakit, kekeringan dan kelaparan, musuh-musuh, dan seterusnya.”
Secara
umum dalam PL, tekanannya jatuh kepada apa yang bisa kita sebut sebagai
aspek negatif dari keselamatan, daripada aspek positifnya. Keselamatan
dianggap sebagai kelepasan dari kuasa jahat dan bahaya dari pemilikan atas
berkat-berkat khusus.
Walaupun begitu, adalah salah juga kalau yang terakhir
itu dianggap tak ada sama sekali khususnya dalam kitab-kitab Mazmur. Silakan
Anda membaca dan mengamati Mzm. 28:9, 31:16, 5l:2!
Pada bagian-bagian kemudian dari PL, jelas ada pergeseran dari ide
keselamatan sebagai tindakan-tindakan kelepasan dalam wilayah atau bidang
materiil, fisik semata-mata, menuju kepada aspek moral dan spiritual (lih.
Yes.59:7, 62:10).
Yang paling menonjol dari antara aspek spiritual dan moral
ini adalah ketaatan kepada kehendak Allah. Mereka yang benar dan adil yang
mempunyai pengharapan akan pertolongan keselamatan dari Allah.
Sebaliknya, bilamana umat menyimpang dari jalan Tuhan dan menyerahkan
diri kepada kuasa jahat, keselamatan hanya dimungkinkan dengan jalan
perubahan hati, melalui pertobatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa tekanan
utama adalah kebebasan dari tirani (kuasa) dosa.
Nabi-nabi besar memberitakan kesiapan Allah untuk menyelamatkan dari
perspektif baru. Berkat-berkat eksternal masih juga diharapkan, namun
tekanannya kini lebih kepada kebutuhan akan suatu perubahan hati, pengampunan, kebenaran, dan pembaharuan hubungan dengan Allah.
Keselamatan masih mempunyai implikasi sosial, namun tekanannya lebih
kepada perjanjian dengan individu daripada dengan bangsa. Itu berarti bahwa
keselamatan terutama menjadi pengalaman dari setiap individu.
Dengan
demikian, kita dapat membaca pengakuan Yesaya, misalnya bahwa: “Allah
adalah keselamatanku” (Yes. 12:2), sebab Allah menyatakan diri-Nya sebagai
Allah yang benar dan Juruselamat; tidak ada Allah lain selain Dia (Yes. 45:21,
43:11).
Karena itu, dalam Kitab Yesaya, istilah Allah sama dengan Juruselamat.
Dengan menggunakan kata pengharapan, keselamatan dari Allah
dipikirkan sebagai sesuatu yang akan terjadi kelak. Bahwa “Allah akan
mendatangkan keselamatan di Sion” (Yes. 46:13) menunjuk ke masa yang
akan datang.
Keselamatan yang demikian bukan lagi hanya untuk Israel
sendiri, melainkan dengan datangnya “Hamba Allah,” maka keselamatan
akan menjangkau sampai ujung bumi. Artinya, untuk semua bangsa (Yes.
49:6).
Dengan demikian, maka seluruh bumi akan melihat keselamatan dari
Allah kita (Yes. 52:10). Dengan demikian, janji Allah tentang keselamatan
menjadi semakin besar dan mendalam.
Sebagai simpulan, ketika kita memerhatikan PL, ide tentang keselamatan
dalam sejarah awal umat Allah (lsrael) adalah bahwa Allah menyelamatkan
orang yang baik dari berbagai kesukaran.
Akan tetapi, dengan pemahaman
yang berkembang tentang hubungan antara keselamatan dan dosa, dalam
konteks kebutuhan akan pertobatan, topik ini memeroleh pengertian yang
lebih rohani dan moral.
Hal ini menuntun kita kepada doktrin tentang
keselamatan yang khas dalam Perjanjian Baru, yakni bahwa Allah
menyelamatkan orang jahat dari dosa- dosanya dan membenarkan mereka.
Pembicaraan mengenai Allah sebagai penyelamat dalam agama Kristen tak
dapat dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus.
Yesus bahkan di dalam Perjanjian
Baru dikenal dengan sebutan Juruselamat. Karena itu, kita dapat mengatakan
bahwa Allah di dalam Yesus Kristus adalah Allah Penyelamat. Keselamatan
menjadi tujuan utama dari kedatangan dan pelayanan Yesus Kristus.
Yesus
maupun para penulis PB menggunakan istilah “menyelamatkan” sebagai suatu
yang menyeluruh untuk menggambarkan misi-Nya.
Ia disambut dalam arena
sejarah dunia dengan pernyataan para malaikat bahwa “Ia akan dinamai Yesus,
yang berarti yang menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka” (Mat.
1:21).
Apabila dalam Perjanjian Lama Allah juga menyatakan diri sebagai
Penyelamat, dalam Perjanjian Baru secara jelas Allah menyatakan diri sebagai
Penyelamat di dalam diri Tuhan Yesus Kristus.
Karena itulah, Gereja mula-mula
ketika merumuskan pengakuan imannya memberi tempat yang sangat sentral
kepada fakta Yesus Kristus mulai dengan pengakuan bahwa Ia Anak Tunggal
Allah dan Tuhan (prainkarnasi), kelahiran-Nya (inkarnasi), pekerjaan-Nya
khususnya penderitaan, penyaliban, dan kematian-Nya, kebangkitan-Nya,
kenaikan-Nya ke surga dan kedatangan-Nya kembali untuk menjadi Hakim.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa seluruh fakta Kristus merupakan
perwujudan dari karya penyelamatan Allah bagi manusia yang telah jatuh ke
dalam dosa dan karena itu terputus atau rusak hubungannya dengan Allah.
Memang mustahil bagi kita untuk membahas seluruh aspek dari pribadi Yesus
Kristus. Namun, dari fakta Kristus yang kita sebutkan di atas, jelas bahwa di
dalam diri Yesus tergabung sifat keilahian dan kemanusiaan sekaligus. Hal ini
jelas sangat unik dan sulit dipahami.
Apabila pengakuan Iman Rasuli mulai
dengan pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Tunggal Allah dan Tuhan,
ini menunjuk kepada keilahian-Nya yakni sebagai Allah dan sehakikat dengan
Allah.
Kemudian dilanjutkan dengan pengakuan bahwa Ia telah dikandung oleh
Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria, menunjukkan penjelmaan-Nya menjadi
manusia. Memang ajaran tentang penjelmaan sudah merupakan persoalan
sejak Gereja mula-mula.
Dalam suatu pertemuan Gerejawi di Khalcedon pada
tahun 451, para pemimpin gereja merumuskan masalah yang sulit ini sebagai
berikut: “Tuhan kita Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati,
sehakikat dengan Bapa dalam segala sesuatu yang menyangkut keilahianNya, namun dalam kemanusiaan-Nya sama seperti kita, kecuali tanpa dosa.
Jadi, Yesus dikenal dalam dua tabiat: ilahi dan manusiawi. Kedua tabiat itu
berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini tidak dilenyapkan oleh
penyatuan keduanya, tetapi ciri-ciri khusus masing-masing tabiat tetap
dipelihara.”
Rumusan di atas adalah suatu contoh dari usaha para pemimpin Gereja untuk
memahami pribadi Yesus yang unik itu sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab
Perjanjian Baru. Akan tetapi, rumusan itu tidak dengan sendirinya
menghilangkan rahasia penjelmaan ini.
Karena itu, kita dapat mengamini
kekaguman Paulus, misalnya, dalam kata-kata berikut ini:“Dan sesungguhnya
agunglah rahasia ibadah kita: “Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa
manusia .…” (1 Tim.3:16).
Jadi, apabila kita berbicara tentang kodrat ilahi dan manusiawi Kristus, hal ini
menunjuk kepada keadaan atau kenyataan-Nya.
Kalau kita berkata bahwa
Yesus memiliki kodrat ilahi, yang kita maksudkan ialah bahwa semua sifat atau
ciri khas yang dapat digunakan untuk menggambarkan Allah juga berlaku bagi
Dia.
Dengan demikian, Ia adalah Allah dan bukan sekadar menyerupai Allah,
melainkan Allah sejati.
Apabila kita, mengatakan bahwa Yesus mempunyai kodrat manusiawi, yang
kita maksudkan adalah bahwa Ia bukanlah Allah yang berpura-pura menjadi
manusia, melainkan Ia adalah Allah yang sejati.
Ia bukan hanya Allah atau
hanya manusia, melainkan Ia adalah Allah “yang menjadi manusia dan diam
diantara kita” (Yoh. 1:14). Ia tidak menukar keilahian-Nya dengan
kemanusiaan. Ia malah mengambil keadaan manusia. Artinya Ia menambah
tabiat manusia pada tabiat Ilahi-Nya.
Jadi, dengan penjelmaan ini, Ia adalah
Allah sejati dan manusia sejati.
Walaupun Yesus memiliki semua sifat atau ciri yang dimiliki manusia termasuk
ciri-ciri fisik atau jasmani, tetapi kita tak dapat mengatakan bahwa pada
hakikat-Nya yang terdalam, Ia adalah manusia.
Ia adalah pribadi Ilahi dengan
kodrat manusia. Kepribadian Ilahi itulah hakikat-Nya yang terdalam, karena itu
kita dapat menyembah Dia sebagai Allah yang patut disembah. Jadi, dalam diri
Yesus sebagai penjelmaan Allah, Ia menyatakan keilahian yang sejati dan
kemanusiaan sejati dalam satu pribadi.
Dalam Dia terdapat keterpaduan sifatsifat, sehingga apa pun yang kita katakan tentang Dia sesuai dengan apa yang
dapat dikatakan tentang Allah dan manusia.
Pertanyaan yang segera muncul adalah “Mengapa Allah menjelma menjadi
manusia dalam diri Yesus Kristus?”
Di atas kita telah menyinggung bahwa
tujuan kedatangan dan pelayanan Yesus adalah untuk menyelamatkan
manusia berdosa. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah “Mengapa untuk
menyelamatkan manusia berdosa, Allah harus menjelma menjadi manusia?”
Terhadap pertanyaan seperti ini, harus diakui bahwa kita tak mungkin
menjawabnya dengan tuntas dan memuaskan. Sebagaimana Allah tak
mungkin kita pahami secara sempurna, begitu pula maksud-maksud-Nya tak
terselami.
Penjelasan berikut ini, mungkin dapat menolong kita untuk
membuka sebagian dari selubung misteri Allah dan rencana-Nya.
Untuk dapat menjadi penyelamat atau Juruselamat manusia berdosa dari
hukuman dosanya, Ia harus dapat menanggung penderitaan dan hukuman
itu.
Untuk tugas seperti itu, Juruselamatnya haruslah juga manusia sejati. Dibutuhkan Juruselamat yang menjadi korban yang tak bercacat. Oleh karena
semua manusia telah berdosa dan bercacat, Allah sendirilah yang tak bercacat
itu menjelma menjadi manusia agar dapat berperan sebagai Juruselamat.
Dosa selalu membawa hukuman, ini adalah keadilan Allah. Namun, mengapa
Ia sendiri yang mau menanggung hukuman itu? Di sinilah hakikat Allah yang
terdalam, yakni bahwa Allah adalah kasih. Ia tak sekadar memiliki kasih, tetapi
merupakan kasih itu sendiri.
Jadi, pada satu sisi, Allah menjadi manusia untuk
menjadi Juruselamat karena keadilan-Nya, namun pada sisi yang lain karena
kasih-Nya. “Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia sehingga diberikanNya anak-Nya yang tunggal itu….” (lih. Yoh. 3:16).
Di samping itu, penjelmaan Allah di dalam Yesus Kristus juga hendak
menyatakan Allah dalam segala keunggulan dan keindahan-Nya yang tak ada
bandingnya. Silakan Anda membaca dan mengamati Yoh.14:7-11.
Itulah
sebabnya kita percaya bahwa dalam Yesus Kristus penyataan Allah mencapai
klimaks atau puncaknya. Tak ada wujud penyataan diri Allah yang paling jelas
dan langsung melebihi penyataan-Nya dalam diri Yesus Kristus, Allah
penyelamat itu.
Penyataan diri yang paling jelas dari hakikat-Nya yang adalah
kasih dan juga adil. Silakan Anda mengamati Yoh. 15:13.
Di dalam penjelmaan, Tuhan Yesus menjadi teladan yang paling sempurna
mengenai hidup yang dikehendaki Allah.
Dengan demikian, sebagai makhluk
pencari makna, kita dapat belajar dari hidup Kristus bagaimana kita menjalani
hidup kita secara bermakna sesuai dengan kehendak Allah. Kehidupan Kristen,
yakni kehidupan mengikut Kristus yang menjadi teladan yang sempurna.
Sebelum kita mengakhiri pembahasan tentang Allah Sang Penyelamat, maka
ada baiknya kita mengkaji kesaksian Perjanjian Baru tentang makna atau
arti keselamatan yang dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus.
Konsep
keselamatan dalam Perjanjian Baru adalah khas Kristen dan mendapat tempat
yang sangat utama, kendatipun PB penuh dengan ajaran-ajaran moral dan
kehidupan Kristen.
Harus diakui bahwa berbagai kitab atau surat dalam PB
menjelaskan keselamatan itu dengan istilah-istilah yang bervariasi, akan tetapi
ada kesamaan makna atau pengertian.
Keselamatan diungkapkan dengan
istilah yang bermacam-macam, misalnya hidup kekal, masuk atau mewarisi
Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga, dan sebagainya. Apakah makna atau arti
keselamatan ini? Sayangnya Perjanjian Baru bukan merupakan uraian yang
sistematis dari konsep keselamatan itu.
Karena itu, uraian berikut ini hanyalah
sekadar menangkap secara ringkas makna yang mendasar dari konsep itu, sebagaimana dimaksudkan baik oleh Yesus dalam Injil-injil maupun dalam
surat-surat para rasul.
Salah satu perkembangan makna keselamatan dibandingkan dengan ajaran
Perjanjian Lama adalah bahwa baik Yesus maupun para rasul memberi arti
yang lebih rohani dan universal kepada konsep keselamatan itu.
Artinya,
meskipun keselamatan mengandung juga aspek fisik, tetapi lebih-lebih aspek
rohani mendapat tekanan yang penting. Dengan demikian, keselamatan
menaruh perhatian terhadap manusia seutuhnya.
Keselamatan bukan hanya
bagi satu bangsa saja tetapi bagi seluruh umat manusia melampaui batas
bangsa. Berkali- kali kita katakan di atas bahwa Allah di dalam Yesus Kristus
datang untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosanya atau tepatnya dari
hukuman dosa.
Apakah hukuman dosa yang paling nyata? Bagaimana
manusia diselamatkan? Hukuman dosa adalah maut, kata Paulus (Rm. 6:23).
Maut atau kematian di sini lebih bersifat rohani, yakni keterasingan dari Allah,
putus atau rusaknya hubungan atau persekutuan manusia dengan Allah.
Dalam pengertian seperti itu, kita dapat memahami pengalaman Yesus yang
paling hebat dan mengerikan ketika dalam karya penyelamatan-Nya Ia
mengalami ditinggalkan oleh Allah, Bapa-Nya.
Di atas kayu salib Ia berseru
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dengan demikian,
keselamatan yang dikerjakan Allah pada dasarnya adalah restorasi
(pembaharuan, perbaikan) hubungan dengan Allah, suatu pengalaman
hubungan atau persekutuan yang benar dengan Allah.
Oleh karena itu, di dalam Yesus Kristus kita yang percaya boleh menyebut Allah
itu Bapa, dalam arti kita memiliki hak untuk menjadi anak-anak Allah, suatu kualitas hubungan yang intim dengan Allah.
Dalam hubungan itu, kita
dapat memahami mengapa Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk
berdoa dan menyapa Allah itu: Bapa kami.
Hidup kekal bukan saja suatu
keabadian, melainkan suatu kualitas hidup yang baru, yakni pengalaman
hubungan yang benar dan intim dengan Allah melalui Yesus Kristus.
Paulus
kadang menyebutkan hidup yang demikian sebagai hidup dalam Kristus, hidup
dalam damai sejahtera dengan Allah.
Dalam kaitan dengan penjelasan di atas, dapatlah kita pahami bahwa
keselamatan menurut PB khususnya dalam surat-surat para rasul merupakan
pengalaman yang sudah kita alami pada masa kini, bukan hanya pada masa
yang akan datang sesudah kematian.
Merupakan pengalaman masa kini,
karena memang keselamatan atau hidup kekal merupakan suatu kualitas
hidup baru, yakni hidup dalam hubungan dan persekutuan yang benar dengan
Allah. Akan tetapi, keselamatan juga mengandung aspek masa depan, yakni
bahwa penyempurnaan-Nya masih akan terjadi di masa yang akan datang,
ketika Yesus datang kembali untuk menggenapkan dan menyempurnakan
segala sesuatu.
Itulah sebabnya keselamatan mengandung aspek
pengharapan juga, meskipun ia telah merupakan pengalaman masa kini.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Ef.2:4-9. Pekerjaan Yesus
menunjukkan lebih dari segi rohani saja, karena Yesus memberi makan orang
lapar, menyembuhkan orang sakit, membebaskan orang yang dibelenggu oleh
kuasa jahat, tetapi juga membebaskan mereka yang tertindas dan sebagainya.
Hal ini berarti bahwa keselamatan dalam kekristenan adalah suatu yang
komprehensif atau menyeluruh, sama halnya Injil atau kabar baik adalah kabar
baik yang menyeluruh. Kita harus menolak pembatasan keselamatan hanya
sebagai yang spiritual saja.
Ini yang kita sebut despiritualisasi keselamatan.
Bukan berarti bahwa keselamatan tidak mempunyai dimensi spiritual,
melainkan menolak pembatasannya hanya pada dimensi yang spiritual (Baum
1975, 202).
Posting Komentar untuk "Allah Penyelamat Dalam Agama Kristen"