Pariwisata Sebagai Suatu Ilmu
Dalam perjalanan sejarah, pariwisata pada akhirnya dianggap sebagai suatu kegiatan
yang menjanjikan keuntungan.
Kemudian muncul keinginan berbagai pihak untuk
mengetahui seluk-beluk pariwisata itu sendiri, akhirnya mendorong sebagian orang untuk
mempelajari dan menjadikan pariwisata sebagai sebuah ilmu baru untuk dipelajari.
Kalau
dikaji secara mendalam, pariwisata sesungguhnya memang bisa menjadi ilmu yang
mandiri, yang sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya.
Hal ini bisa dilihat dari perspektif filsafat
ilmu, maupun dengan kajian komparatif terhadap ilmu-ilmu lainnya, ataupun komparasi
dengan pendidikan tinggi pariwisata di negara-negara lain di luar negeri.
Wacana mengenai apakah pariwisata merupakan ilmu yang mandiri atau hanya
objek studi dari ilmu-ilmu yang telah mapan dengan pendekatan multidisipliner,
sebenarnya telah lama diperdebatkan.
Pengakuan secara formal terhadap pariwisata
sebagai ilmu mandiri di Indonesia merupakan hasil perjuangan dalam kurun waktu yang
cukup panjang. Wacana tentang keilmuan pariwisata di Indonesia dilontarkan pertama kali
pada awal tahun 1980-an.
Setelah hampir dua dasa warsa perjuangan pendirian pariwisata
sebagai ilmu mandiri terkesan mati suri, pada tahun 2006 perjuangan tersebut digerakkan
lagi melalui kerjasama Depbudpar dengan Hildiktipari.
Dari rapat koordinasi yang
dilakukan dua lembaga tersebut melahirkan suatu “Deklarasi Pariwisata Sebagai Ilmu”
yang berisi poin pokok.
Pertama, pariwisata adalah cabang ilmu yang mandiri, yang sejajar
dengan ilmu-ilmu lain; dan kedua, program S1, S2, dan S3 Ilmu pariwisata di berbagai
lembaga pendidikan tinggi sudah layak diberikan ijin oleh Departemen Pendidikan
Nasional.
Tanggal 31 Maret 2008, merupakan salah satu tonggak sejarah pengakuan
pariwisata sebagai ilmu. Pada tanggal tersebut, keluar surat dari Dirjen Dikti Depdiknas
No. 947/D/T/2008 dan 948/D/T/2008 yang ditujukan kepada Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi dapat menyetujui pembukaan jenjang Program Sarjana (S1) dalam beberapa
program studi pada STP Bali dan STP Bandung.
Dengan diijinkannya pembukaan program
studi jenjang sarjana (akademik) ini, berarti pula adanya pengakuan secara formal bahwa
pariwisata adalah sebuah disiplin ilmu, yang sejajar dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Secara konseptual, ilmu adalah suatu pengetahuan sistematis yang diperoleh
berdasarkan pengalaman (empirik) dan percobaan (eksperimen) dengan menggunakan
metode yang dapat diuji. Oleh sebab itu, setiap ilmu memenuhi tiga syarat dasar, yakni : 1) ontologi (objek atau focus of interest yang dikaji); 2) epistemologi (metodelogi untuk memperoleh pengetahuan); dan 3) aksiologi (nilai manfaat pengetahuan) (Suriasumantri,
1978).
Sejalan dengan hal ini, maka diskusi tentang status keilmuan pariwisata hendaknya
didekati dengan persyaratan dasar suatu ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Aspek Ontologi
Setiap ilmu memiliki objek material dan objek formal. Objek material adalah
seluruh lingkup (makro) yang dikaji suatu ilmu. Objek formal adalah bagian tertentu dari
objek material yang menjadi perhatian khusus dalam kajian ilmu tersebut.
Sesungguhnya
objek formal inilah yang membedakan satu ilmu dengan ilmu lainnya. Objek formal (aspek
ontologi) ilmu pariwisata adalah masyarakat.
Oleh sebab itu pariwisata dapat diposisikan
sebagai salah satu cabang ilmu sosial karena focus of interest-nya adalah kehidupan
masyarakat manusia. Dengan demikian fenomena pariwisata ini dapat difokuskan pada tiga
unsur, yakni :
- pergerakan wisatawan;
- aktivitas masyarakat yang memfasilitasi pergerakan wisatawan;
- implikasi atau akibat-akibat pergerakan wisatawan dan aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya terhadap kehidupan masyarakat secara luas.
Pergerakan
atau perjalanan merupakan salah satu komponen yang elementer dalam pariwisata. Ini
merupakan tujuan dan objek penawaran dan permintaan jasa wisata, termasuk objek kajian
berbagai ilmu pengetahuan (Freyer, 1995 dalam Pitana dan Gayatri, 2005).
Salah satu
diantara sifat tersebut adalah berulang, beragam, saling terkait dan teratur. Pergerakan
wisatawan berlangsung secara terus-menerus dalam skala waktu yang hampir tidak
terbatas.
Jika dahulu hanya kelompok elite masyarakat yang dominan berwisata, maka
sekarang hal itu dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat, meskipun dengan
bentuk, jenis, dan cara yang berbeda.
Demikian pula aktivitas masyarakat cenderung
beragam dan dinamis di dalam memfasilitasi pergerakan tersebut. Ada yang menyediakan
akomodasi, transportasi, atraksi wisata, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan
implikasi yang ditimbulkannya sangat berbeda-beda.
Aspek Epistemologi
Aspek epistemologi pariwisata menunjukkan pada cara-cara memperoleh
kebenaran atas objek ilmu. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah, yakni
didasarkan pada suatu logika berpikir yang rasional, objektif dan dapat diuji secara
empirik.
Sebagai contoh, pergerakan wisatawan sebagai salah satu objek formal “ilmu”
pariwisata dipelajari dengan menggunakan suatu metode berpikir rasional.
Misalnya,
pergerakan wisatawan terjadi akibat adanya interaksi antara ketersediaan sumber daya (waktu luang, uang, infrastruktur) dengan kebutuhan mereka untuk menikmati perbedaan
dengan lingkungan sehari-hari.
Dalam hal ini logika berpikir sangat rasional dan juga dapat
dibuktikan secara empirik.
Seperti disebutkan sebelumnya, diskusi tentang epistemologi otomatis menyangkut
metode suatu ilmu untuk mencari kebenaran.
Untuk itu perlu didefinisikan pendekatan
kajian pariwisata secara lebih khusus. Salah satu yang paling mudah adalah pendekatan
sistem (McIntosh, Goeldner, dan Ritchie, 1995).
Pendekatan ini menekankan bahwa baik
pergerakan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasinya maupun implikasi dari
kedua-duanya terhadap kehidupan masyarakat secara luas, merupakan satu-kesatuan yang
saling berhubungan atau pengaruh-mempengaruhi.
Setiap pergerakan wisatawan selalu
diikuti dengan penyediaan fasilitas wisata dan interaksi keduanya akan menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi logis di bidang ekonomi, sosial, budaya, ekologi, bahkan politik
sekalipun.
Pendekatan berikutnya adalah pendekatan kelembagaan. Pendekatan ini melihat
pariwisata sebagai suatu hasil kerjasama berbagai aktor (stakeholder) secara melembaga
(McIntosh, Goeldner, dan Ritchie, 1995).
Setiap perjalanan wisata melibatkan wisatawan,
penyedia jasa transportasi, penyedia jasa akomodasi, jasa atraksi dan sebagainya.
Antara
satu dengan yang lain memiliki hubungan fungsional dan berdasarkan hubungan itulah
kegiatan perjalanan wisata dapat berlangsung.
Sebagai suatu komoditas jasa, pariwisata juga dapat dipahami dengan
menggunakan pendekatan produk.
Artinya, pariwisata merupakan suatu komoditas yang
sengaja diciptakan untuk merespon kebutuhan masyarakat (McIntosh, Goeldner, dan
Ritchie, 1995). Konsep ”Multiple A” (Attraction, Amenities, Accessibility, Ancillary) yang
digunakan untuk menjelaskan elemen produk wisata sesungguhnya menunjuk pada hasil
kegiatan memproduksi dan atau mereproduksi komoditas yang dikonsumsi oleh
wisatawan.
Ilmu pariwisata bersifat multidisiplin, artinya ilmu ini tidak mungkin berdiri sendiri
dan harus melibatkan berbagai disiplin lain seperti sejarah, sosiologi, antropologi,
etnografi, ekonomi, manajemen, budaya, seni, teknologi, dan bahkan politik dalam arti luas
(sebagaimana juga halnya ilmu-ilmu lainnya, yang tidak bisa sepenuhnya berdiri sendiri).
Pendekatan multidisiplin itu memungkinkan ilmu pariwisata menjadi sangat luas dan
taksonominya tumbuh pesat.
Membangun ilmu pariwisata tentu memerlukan suatu metodologi penelitian
tertentu.
Metode-metode penelitian sosial seperti eksploratif (exploratory research) dan metode membangun teori (theory-building research) merupakan cara-cara yang tepat
digunakan untuk membangun ilmu pariwisata.
Penelitian ilmu pariwisata juga bisa
dilaksanakan secara kuantitatif maupun kualitatif, baik sinkronik maupun diakronik serta
komparatif. Metode lain yang sering digunakan dalam penelitian pariwisata adalah metode
deskriptif.
Misalnya kajian terhadap proses-proses perjalanan dan pertemuan dengan
budaya yang berbeda di daerah tujuan wisata dapat dilakukan dengan baik jika
menggunakan metode ini.
Aspek Aksiologi
Aksiologi merupakan aspek ilmu yang sangat penting. Ilmu pariwisata jelas
memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia.
Perjalanan dan pergerakan
wisatawan adalah salah satu bentuk kegiatan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya yang beragam, baik dalam bentuk pengalaman, pencerahan, penyegaran fisik dan
psikis maupun dalam bentuk aktualisasi diri.
Dalam konteks inilah dapat dipahami
mengapa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan kegiatan berwisata sebagai hak
asasi.
Kontribusi pariwisata yang lebih kongkret bagi kesejahteraan manusia dapat dilihat
dari implikasi-implikasi pergerakan wisatawan, seperti meningkatnya kegiatan ekonomi,
pemahaman terhadap budaya yang berbeda, pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan
manusia, dan seterusnya (Copeland, 1998).
Ilmu pariwisata juga memiliki manfaat akademis untuk mengembangkan ilmu
pariwisata itu sendiri, untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya,
untuk memberikan penjelasan perkembangan terkini, dunia pariwisata secara teoritik
kepada masyarakat, baik melalui kurikulum, bahan ajar, lembaga penyelenggara, maupun
penyempurnaan sistem pendidikannya yang kini berlaku.
Posting Komentar untuk "Pariwisata Sebagai Suatu Ilmu"