Munculnya Pariwisata di Indonesia
Dalam sejarah nusantara, diketahui bahwa kebiasaan mengadakan perjalanan telah
dijumpai sejak lama. Dalam buku Nagara Kartagama, pada abad XIV, Raja Hayam Wuruk
dilaporkan telah mengelilingi Majapahit dengan diikuti oleh para pejabat negara.
Ia
menjelajahi daerah Jawa Timur dengan mengendarai pedati. Pada awal abad XX,
Susuhunan Pakubuwono X dikenal sebagai raja yang sangat suka mengadakan perjalanan.
Hampir setiap tahun beliau mengadakan perjalanan ke Jawa Tengah sambil memberikan
hadiah berupa uang.
Dalam tradisi kerajaan Mataram, raja atau penguasa daerah harus
melakukan unjuk kesetiaan pada keraton dua kali setiap tahunnya, sambil membawa para
pejabat, pekerja yang mengangkut logistik dan barang persembahan untuk raja.
Dari
sinilah, pariwisata Indonesia terus berkembang sesuai dengan keadaan politik, sosial, dan
budaya masyarakatnya. Kemajuan pesat pariwisata Indonesia sendiri tidak terlepas dari
usaha yang dirintis sejak beberapa dekade yang lalu.
Menurut Yoeti (1996:24),
berdasarkan kurun waktu perkembangan, sejarah pariwisata Indonesia dapat dibagi
menjadi tiga periode penting yaitu : periode masa penjajahan Belanda, masa pendudukan
Jepang, dan setelah Indonesia merdeka.
A. Masa Penjajahan Belanda
Kegiatan kepariwisataan dimulai dengan penjelajahan yang dilakukan pejabat
pemerintah, missionaris atau orang swasta yang akan membuka usaha perkebunan di daerah pedalaman. Para pejabat Belanda yang dikenai kewajiban untuk menulis laporan
pada setiap akhir perjalanannya.
Pada laporan itulah terdapat keterangan mengenai
peninggalan purbakala, keindahan alam, seni budaya masyarakat nusantara. Pada awal
abad ke-19, daerah Hindia Belanda mulai berkembang menjadi suatu daerah yang
mempunyai daya tarik luar biasa bagi para pengadu nasib dari negara Belanda.
Mereka
berkelana ke nusantara, membuka lahan perkebunan dalam skala kecil. Perjalanan dari satu
daerah ke daerah lain, dari nusantara ke negara Eropa menjadi hal yang lumrah, sehingga
dibangunlah sarana dan prasarana yang menjadi penunjang kegiatan tersebut.
Kegiatan kepariwisataan masa penjajahan Belanda dimulai secara resmi sejak tahun
1910-1912 setelah keluarnya keputusan Gubernur jenderal atas pembentukan Vereeneging
Toeristen Verkeer (VTV) yang merupakan suatu biro wisata atau tourist bureau pada masa
itu.
Saat itu kantor tersebut digunakan pula oleh maskapai penerbangan swasta Belanda
KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtfahrt Maatschapijj). Yang memegang
monopoli di kawasan Hindia Belanda saat itu.
Meningkatnya perdagangan antar benua Eropa, Asia dan Indonesia pada
khususnya, meningkatkan lalu lintas manusia yang melakukan perjalanan untuk berbagai
kepentingan masing-masing.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik untuk
mereka yang melakukan perjalanan ini, maka didirikan untuk pertama kali suatu cabang
Travel Agent di Jalan Majapahit No. 2 Jakarta pada Tahun 1926 yang bernama Lissone
Lindeman (LISLIND) yang berpusat di Belanda.
Sekarang tempat tersebut digunakan oleh
PT. NITOUR.
Tahun 1928 Lislind berganti menjadi NITOUR (Nederlandsche IndischeTouristen
Bureau) yang merupakan bagian dari KNILM.
Saat itu kegiatan pariwisata lebih banyak
didominasi oleh orang kulit putih saja, sedangkan bangsa pribumi sangat sedikit bahkan
dapat dikatakan tidak ada.
Perusahaan perjalanan wisata saat itu tidak berkembang karena
NITOUR dan KNILM memegang monopoli.
Pertumbuhan hotel di Indonesia sesungguhnya mulai dikenal pada abad ke-19 ini,
meskipun terbatas pada beberapa kota seperti di Batavia; Hotel Des Indes, Hotel der
Nederlanden, Hotel Royal, dan Hotel Rijswijk.
Di Surabaya berdiri pula Hotel Sarkies,
Hotel Oranye, di Semarang didirikan Hotel Du pavillion, kemudian di Medan Hotel de
Boer, dan Hotel Astoria, di Makassar Hotel Grand dan Hotel Staat. Fungsi hotel saat itu
lebih banyak digunakan untuk tamu-tamu dari penumpang kapal laut dari Eropa.
Mengingat belum adanya kendaraan bermotor untuk membawa tamu-tamu tersebut dari
pelabuhan ke hotel dan sebaliknya, maka digunakan kereta kuda serupa cikar Memasuki abad ke-20, mulailah perkembangan usaha akomodasi hotel ke kota
lainnya seperti Palace Hotel di Malang, Stier Hotel di Solo, Hotel Van Hangel, Preanger
dan Homann di Bandung, Grand Hotel di Yogyakarta, Hotel Salak di Bogor.
Setelah
kendaraan bermotor digunakan dan jalan raya sudah berkembang muncul pula hotel baru di
kota lainnya seperti : Hotel Merdeka di Bukittinggi, Hotel Grand Hotel lembang di luar
kota Bandung, kemudian berdiri pula di Dieng, Lumajang, Kopeng, Tawang Mangu,
Prapat, Malino, Garut,Sukabumi, disusul oleh kota-kota lainnya.
B. Masa Pendudukan Jepang
Berkobarnya Perang Dunia II yang disusul dengan pendudukan Jepang ke
Indonesia menyebabkan keadaan pariwisata sangat terlantar. Saat itu dapat dikatakan
sebagai masa kelabu bagi dunia kepariwisataan Indonesia. Semuanya porak poranda.
Kesempatan dan keadaan yang tidak menentu serta keadaan ekonomi yang sangat sulit,
kelangkaan pangan, papan, dan sandang tidak memungkinkan orang untuk berwisata.
Kunjungan wisatawan mancanegara pada masa ini dapat dikatakan tidak ada.
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, masa pendudukan Jepang tercatat
sebagai masa yang pedih dan sulit. Ketakutan, kegelisahan merajalela, paceklik,
perampasan harta oleh tentara Jepang membuat dunia kepariwisataan nusantara mati.
Banyak sarana dan prasarana publik dijadikan sarana untuk menghalangi masuknya musuh
dalam suatu wilayah, obyek wisata terbengkalai dan tidak terurus.
Banyak hotel yang
diambil alih oleh Jepang dan diubah fungsi untuk keperluan rumah sakit, asrama, dan
hotel-hotel yang lebih bagus disita untuk ditempati para perwira Jepang. Data dan
informasi pariwisata dalam masa pendudukan Jepang dapat dikatakan tidak tersedia.
C. Setelah Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka, dunia kepariwisataan Indonesia mulai merangkak lagi.
Meskipun pemerintahan Indonesia baru berdiri, namun pemerintah Indonesia waktu itu
telah memikirkan untuk mengelola pariwisata.
Menjelang akhir tahun 1946, Bupati Kepala
Daerah Wonosobo, mempunyai inisiatif untuk mengorganisasikan kegiatan perhotelan di
Indonesia dengan menugaskan tiga orang pajabat setempat : W. Soetanto, Djasman Sastro
Hoetomo,dan R. Alwan.
Melalui mereka inilah lahir Badan Pusat Hotel Negara, yang
merupakan organisasi perhotelan pertama di Indonesia.Pada tanggal 1 Juli 1947,
pemerintah Indonesia mulai menghidupkan kembali industri-industri di seluruh wilayah
Indonesia, termasuk pariwisata.
Sektor pariwisata mulai menunjukkan geliatnya. Hal ini ditandai dengan Surat
Keputusan Wakil Presiden (Dr. Mohamad Hatta) sebagai Ketua Panitia Pemikir Siasat
Ekonomi di Jogjakarta untuk mendirikan suatu badan yang mengelola hotel-hotel yang
sebelumnya dikuasai pemerintah pendudukan.
Badan yang baru dibentuk itu bernama
HONET (Hotel National & Tourism) dan diketuai oleh R Tjipto Ruslan.
Badan tersebut
segera mengambil alih hotel-hotel yang terdapat di daerah : Yogyakarta, Surakarta,
Madiun, Cirebon, Sukabumi, Malang, Sarangan, Purwokerto, Pekalongan, yang semuanya
diberi nama Hotel Merdeka.
Terjadinya KMB (Konferensi Meja Bundar) pada tahun 1949 mengakibatkan
perkembangan lain, mengingat salah satu isi perjanjian KMB adalah bahwa seluruh harta
kekayaan milik Belanda harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Oleh karena itu, ahirnya
HONET dibubarkan dan selanjutnya berdiri badan hukum NV HORNET yang merupakan
badan satu-satunya yang menjalankan aktivitas di bidang perhotelan dan pariwisata.
Tahun 1952 dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, dibentuk Panitia Inter
Departemental Urusan Turisme yang diketuai oleh Nazir St. Pamuncak dengan sekretaris
RAM Sastrodanukusumo.
Tugas panitia tersebut antara lain menjajagi kemungkinan
terbukanya kembali Indonesia sebagai daerah tujuan wisata.
Pada tahun 1953 beberapa
tokoh perhotelan ahirnya mendirikan Serikat Gabungan Hotel dan Tourisme Indonesia
(SERGAHTI) yang diketuai oleh A Tambayong, pemilik Hotel Orient yang berkedudukan
di Bandung.
Badan tersebut dibantu pula oleh S. Saelan (pemilik hotel Cipayung di
Bogor), dan M Sungkar Alurmei (Direktur hotel Pavilion/Majapahit di Jakarta), yang
kemudian mendirikan cabang dan menetapkan komisaris di masing-masing daerah di
wilayah Indonesia.
Keanggotaan SERGAHTI pada saat itu mencakup seluruh hotel di
Indonesia. Disamping SERGAHTI, beberapa pejabat tinggi negara yang posisinya ada
kaitannya dengan aspek parwisata Indonesia dan beberapa anggota elite masyarakat yang
peduli terhadap potensi pariwisata nasional mendirikan Yayasan Tourisme Indonesia atau
YTI pada tahun 1955, yang nantinya akan menjadi DEPARI, Dewan Pariwisata Indonesia
yang menjadi cikal bakal Departemen Pariwisata dan Budaya saat ini.
Posting Komentar untuk "Munculnya Pariwisata di Indonesia"