MOTIVASI WISATAWAN
Awal perjalanan manusia lebih
didasarkan pada motivasi untuk mempertahankan hidupnya dan kemudian berkembang
menjadi motivasi untuk melepaskan diri dari kejenuhan kota seperti terjadi waktu zaman
Romawi.
Motivasi untuk melakukan perjalanan kemudian berkembang dengan tujuan
untuk interaksi sosial, perjalanan ziarah, perdagangan, kesenangan, dan pengembangan
diri.
Di sini terlihat bahwa motivasi untuk melakukan suatu perjalanan tersebut juga akan
selalu berubah, sehingga akan selalu terjadi pengembangan teori atas pengertian motivasi
itu sendiri.
Motivasi sering diartikan sebagai “the process used to allocate energy to maximize
the satisfaction”, atau sebuah energi yang mendorong seseorang untuk mencapai
kepuasannya.
Dan secara lebih spesifik, motivasi berwisata didefinisikan sebagai “the
global integrating network of biological and cultural forces which gives value and
dirrection to travel choices, behaviour and sxperiences”.
Ada dua hal utama yang dapat
kita pahami dari pengertian-pengertian di atas. Pertama, motivasi timbul sebagai upaya
untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keinginan seseorang; dan kedua, motivasi akan
menyebabkan terjadinya sebuah perjalanan wisata ketika seseorang menemukan
(menentukan) tujuan ke mana ia harus memenuhi kebutuhan dan keinginannya tersebut.
Hubungan antara kebutuhan, keinginan dan motivasi ini dapat dilihat pada Gambar.
Suatu keinginan (wants) terjadi ketika ada kesadaran dari seseorang terhadap pemenuhan
kebutuhannya (needs).
Misalnya, kebutuhan akan kasih sayang diterjemahkan dalam
keinginan untuk mengunjungi keluarga ketika yang bersangkutan merasa sadar bahwa ia
perlu menemui keluarganya tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Selanjutnya sesorang akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhannya ketika ia telah
menetapkan sebuah tujuan (objectives) yang ingin didapatkannya, misalnya menemui
keluarganya di kota “A”. Pada siklus berikutnya, tujuan tersebut akan menghasilkan
kepuasan karena dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kasih sayang.
Penting diperhatikan di sini bahwa faktor pemasaran (promosi) sangat diperlukan untuk
menumbuhkan kesadaran yang dapat merubah kebutuhan menjadi sebuah keinginan.
Gambar Kebutuhan, Keinginan, dan Motivasi.
Dalam perencanaan pariwisata, pemahaman atas motivasi menjadi sangat penting
karena ia merupakan faktor pendorong (push factor) untuk terjadinya sebuah perjalanan.
Ia
merupakan sebuah dorongan bagi seseorang untuk mencari objek-objek yang diminatinya,
yang berbeda dengan lingkungan kehidupan dan lingkungan kerja sehari-harinya.
Agar
terwujud sebuah perjalanan, maka diperlukan fakor lain yang disebut sebagai faktor
penarik (full factor), yang merupakan rangsangan yang menyebabkan wisatawan tertarik
untuk hadir, misalnya promosi sebuah destinasi.
Sebagai faktor penarik, citra destinasi
menjadi sangat penting, karena citra destinasi itu sendiri merupakan faktor utama untuk
menarik kunjungan wisatawan.
Jadi, ketika sebuah destinasi memiliki citra sebagai sebuah
destinasi budaya, Jogja misalnya, maka segmen masyarakat tertentu yang tertarik dengan
hal-hal bersifat kebudayaan akan lebih tergerak pergi ke Jogja untuk memenuhi
keinginannya guna lebih “mengerti dan memahami budaya lokal Jogja”.
Gambar di atas juga menunjukkan suatu hal bahwa untuk memahami motivasi
diperlukan pemahaman terlebih dahulu atau kebutuhan dasar dan keinginan seseorang.
Saat ini paling tidak ada 15 teori dan hasil penelitian atas kebutuhan dasar seseorang yang
sebagian besarnya berbasis pada teori psikoanalisis dan humanistik.
Namun, teori
mengenai kebutuhan dasar (motivasi) yang paling populer adalah teori yang disampaikan
oleh Maslow pada tahun 1943 dalam tulisannya “A theory of human motivation”.
Teori
tersebut membedakan adanya lima tingkatan kebutuhan dasar pada diri manusia
sebagaimana terlihat pada Gambar.
Hal ini yang membedakan dengan teori lainnya yang hanya menyebutkan kebutuhan yang tunggal, misalnya teori yang dibangun oleh
Sulivan yang hanya menunjuk kebutuhan untuk dapat diterima dan dicintai, atau teori
Csikzentmihalyi yang hanya menunjuk pada kebutuhan untuk mendapatkan pengalaman.
Menurut Maslow, kebutuhan dasar tersebut diawali dari kebutuhan biologis dan
fisik, kebutuhan atas rasa aman, kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan untuk dihargai, dan
kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Kebutuhan biologis dan fisik menyangkut hal-hal
berkenaan dengan kebutuhan dasar antara lain berupa udara, makan, minum, hunian,
kehangatan, sex, dan tidur. Kebutuhan akan rasa aman antara lain berupa dilindungi,
keamanan, kepastian, hukum, dan stabilitas.
Kebutuhan untuk dicintai antara lain berupa
kebutuhan untuk berkeluarga, kasih sayang, hubungan dengan sesama, hubungan kerja,
kebutuhan untuk dihargai antara lain berupa pencapaian prestasi, status, tanggung jawab,
dan reputasi diri. Kebutuhan aktualisasi diri antara lain berupa pengembangan diri.
Teori Maslow sebagaimana terlihat pada Gambar di atas menunjukkan adanya
dua kelompok kebutuhan dasar yang berbeda. Pertama adalah kelompok fisikal (fisiologis),
dan kedua adalah kelompok psikologikal (keamanan, cinta, penghargaan dan aktualisasi
diri).Di samping hal tersebut, ada kelompok intelektual yang dapat dicantumkan di
dalamnya, yaitu terkait dengan kebutuhan untuk mengetahui serta mengerti, dan estetika.
Atas dasar teori Maslow tersebut, Pearce kemudian membuat sebuah model yang
disebutnya sebagai travel career ladder sebagaimana terlihat pada Gambar.
Pearce
menyusun kebutuhan berwisata ke dalam lima tahapan yang disusunnya, yaitu kebutuhan
akan relaksasi, stimulasi, persahabatan, penghargaan, serta pengembangan, dan kepuasan.
Disetarakan dengan teori Maslow, maka kebutuhan relaksasi dalam teori Pearce di atas merupakan representasi atas kebutuhan fisiologis, kebutuhan stimulasi pada kebutuhan
akan keamanan, kebutuhan persahabatan pada kebutuhan cinta, kebutuhan penghargaan
pada penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri, dan semua itu terjadi secara berurutan.
Dan menurutnya, tahap awal harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum seseorang mencapai
tahap berikutnya.
Pandangan Pearce ini menunjukkan bahwa ada sebuah proses terhadap
kebutuhan yang diperlukan oleh seseorang menuju pada puncak tangga kepuasan diri.
dalam berwisata, awalnya seseorang akan memerlukan kegiatan yang bersifat hiburan yang
kemudian pada tahap akhir seseorang akan memerlukan kebutuhan akan sebuah
pengakuan.
Dua teori di atas lebih condong pada sebuah penilaian bahwa kebutuhan dasar
tersebut tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan jiwa individu. Namun,
apakah benar bahwa kebutuhan dasara itu “harus” selalu berjenjang.
Tahap pertama harus
terpenuhi terlebih dahulu sebelum melangkah ke jenjang berikutnya ?
Bila Maslow dan Pearce meyakini bahwa kebutuhan dasar akan tumbuh secara
berjenjang, maka banyak pihak justru berpendapat sebaliknya.
Mereka berpendapat bahwa
kebutuhan dasar manusia adalah sama, hanya tingkat prioritasnya (untuk direalisasikan
menjadi sebuah keinginan dan motivasi) akan berbeda.
Cuellar, antara lain menyebutkan bahwa waktu luang (leisure), termasuk yang digunakan untuk berwisata, adalah kebutuhan primer yang melekat pada semua diri manusia (secara individu dan komunitas) yang dapat memperkuat ketahanan dan mampu menyegarkan jiwa kembali.
Cuellar, antara lain menyebutkan bahwa waktu luang (leisure), termasuk yang digunakan untuk berwisata, adalah kebutuhan primer yang melekat pada semua diri manusia (secara individu dan komunitas) yang dapat memperkuat ketahanan dan mampu menyegarkan jiwa kembali.
Dengan demikian, konsep berwisata harus ada pada setiap
jenjang kebutuhan dasar manusia dengan berbagai variasinya.
Untuk memenuhi kebutuhan
seseorang akan kepuasan diri, maka seseorang dapat saja melakukan perjalanan wisata
religius tanpa harus secara berjenjang melakukan wisata relaksasi terlebih dahulu.
Pemikiran bahwa berwisata merupakan kebutuhan primer manusia ini yang antara
lain mendasari diterbitkannya deklarasi World Leisure yang berisi tentang pentingnya
perhatian pada persoalan kesehatan dan pendidikan.
Di sini diperlukan pula penekanan
pada pentingnya kewajiban pemerintah untuk menjamin pemberian fasilitas terbaik bagi
kegiatan di waktu luang dan rekreasi bagi warganya, pentingnya memberikan kesempatan
lebih luas untuk mengembangkan hubungan antar manusia, pentingnya integrasi sosial,
pentingnya pengembangan komunitas serta identitas budaya, dan pentingnya persahabatan
internasional.
Beberapa pandangan masyarakat barat, misalnya Dumazier, bahkan menyebutkan
bahwa waktu luang dan liburan adalah konsep dari self-actualisation dan self-realisation”,
sehingga tidak diperlukan penjenjangan atas kebutuhannya.
Perubahan sikap dari
seseorang tentu saja juga akan secara otomatis merubah keinginan dan motivasi orang
untuk berwisata.
Walaupun terjadi perbedaan atas konsep kebutuhan dasar untuk berwisata, terutama
dalam diskusi atas “berjenjang atau tidak berjenjang” di atas, namun banyak diakui bahwa
suatu kegiatan wisata juga merupakan sebuah proses dari pencarian dan pencerahan.
Menurut Richard, perjalanan wisata adalah kebutuhan akan pengalaman dan penghayatan
diri yang selanjutnya akan membentuk pola perjalanan wisata yang dihasilkannya.
Diibaratkan dengan sebuah perjalanan kehidupan lainnya, semula memiliki sebuah sepeda
adalah sebuah impian, yang kemudian impian itu akan berkembang menjadi keinginan
untuk memiliki sepeda motor, mobil, dan sebagainya.
Hal ini menunjukkan perubahan
keinginan seseorang. Di samping untuk menunjukkan statusnya, perubahan tuntutan
tersebut juga dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk kenikmatan, kepuasan, serta
pengalaman baru.
Dalam hal berwisata, pada awalnya kebutuhan akan pengalaman lebih berbasis
pada kebutuhan pengalaman fisik, dan ini ditunjukkan oleh jenis kegiatan berwisata yang
lebih berupa fisik, antara lain dalam bentuk mengunjungi pantai untuk sekedar berjemur dan mengunjungi objek wisata untuk sekedar berfoto.
Setelah kembali dari perjalanannya,
wisatawan jenis ini sudah sangat puas dapat menunjukkan hasil fisik perjalanannya yang
dapat dilihat dari terbakarnya kulit mereka akibat berjemur di pantai, atau foto-foto bahwa
mereka pernah ke sana.
Inilah awal dari proses being ataupun proses aktualisasi diri yang
mereka capai, yang lebih ditampakkan secara visual yang merupakan status simbol mereka
bahwa mereka “pernah” ke suatu tempat tertentu.
Pada tahap berikutnya, status simbol tersebut akan bergeser ketidakpuasan baru
muncul kembali. Setelah secara fisik mereka menikmati hasil berwisatanya, keinginan baru
yang muncul adalah pengalaman.
Wisatawan kemudian ingin menunjukkan statusnya
dalam bentuk pemahaman terhadap suatu destinasi tidak saja dengan tujuan untuk
membedakan dirinya dengan wisatawan lainnya, namun mereka juga ingin lebih
memahami dan memaknai perjalanan wisatanya itu sendiri.
Pada tahap selanjutnya,
kebutuhan untuk mengetahui dan memahami saja dirasakan tidak cukup. Wisatawan
menginginkan lebih dari itu, dan ini menghasilkan tuntutan baru untuk mendapatkan
pengkayaan dari perjalanannya.
Pengkayaan itu tidak hanya pada persoalan sekedar
memahami nilai dan sejarah objek wisata yang ada, namun tuntutan baru adalah untuk
lebih memahami faktor kehidupan manusia di destinasi yang dikunjunginya.
Wisatawan
kemudian menuntut untuk dapat menjadi bagian dari masyarakat lokal, mereka
mempelajari adat istiadat, budaya, dan pengetahuan lokal masyarakat setempat. Wisatawan
kemudian merasa perlu untuk menjadi konsumen sekaligus produsen, dan ini merupakan
ciri pariwisata kreatif.
Teori-teori di atas menunjukkan satu kesamaan bahwa tujuan berwisata itu
sebenarnya adalah sebuah proses pengkayaan kehidupan manusia, sebuah proses
pendewasaan yang tidak pernah akan ada habisnya.
Hal yang sama lainnya adalah bahwa
berwisata merupakan hakikat hidup dan menjadi hak serta kebutuhan dasar yang melekat
dalam diri manusia, yang terbentuk ketika manusia menjadi sangat mandiri dan sadar akan
kebutuhan intrinsiknya.
Kalau berwisata adalah kebutuhan intrinsik manusia, lalpu apa
yang memotivasi mereka untuk berwisata ?
Pandangan pertama mengenai motivasi berwisata ialah sebuah keyakinan bahwa
motivasi berwisata, sebagaimana kebutuhan dasar model Maslow, adalah bersifat
berjenjang pula sebagaimana didukung oleh Richards.
Bila Maslow melihat bahwa
motivasi awal seseorang adalah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (memiliki
kesehatan yang baik, memiliki rumah yang layak, dan sebagainya) sampai dengan
aktualisasi diri, maka Richards melihat bahwa motivasi utama berwisata adalah untuk memenuhi kebutuhan pariwisata diawali dengan keinginan untuk memiliki “sesuatu”
sebagai status simbol, seperti memiliki mobil dan TV berwarna.
Pada tingkatan lebih
lanjut, pariwisata akan memerlukan kebutuhan menjadi “being” yang dalam konteks
Maslow dapat disamakan dengan aktualisasi diri.
Pada tahapan “being” ini pariwisata
bercirikan melihat dan melakukan sesuatu kemudia mengarah pada bentuk berwisata
dimana wisatawan akan menjadi konsumen sekaligus produsen.
Mill memang tidak menjelaskan
apakah ia setuju dengan konsep penjenjangan kebutuhan dasar Model Maslow, walaupun
ia memakainya sebagai dasar pijakan untuk memberikan hubungan antara kebutuhan dasar,
motivasi dengan kepustakaan pariwisata yang terkait.
Namun, hal yang menarik dari teori
yang dibangunnya ini adalah adanya keterkaitan antara kebutuhan dasar, motivasi dengan
kepustakaan pariwisata, dan ini akan sangat berguna bagi pengembangan suatu produk
pariwisata.
Hal lain yang menarik dari pendapat Mill ini adalah bahwa ia menambahkan satu
komponen pengamatan pada kebutuhan dasar manusia yang sudah ditulis oleh Maslow.
Di
samping unsur fisikal (fisiologis), dan unsur psikologikal (keselamatan, memiliki
penghargaan, dan akualisasi diri) sebagaimana disampaikan oleh Maslow, Mill juga
menambahkan unsur intelektual (mengerti serta memahami, dan estetika) yang akan
menampung tema-tema wisata secara khusus seperti wisata budaya, dan wisata kreatif.
Sebagai catatan, tabel di atas juga tidak seharusnya dibaca secara apa adanya
karena satu produk pariwisata dapat secara bersamaan memenuhi labih dari satu jenis
kebutuhan dasar manusia. Misalnya, produk wisata alam akan mampu menjawab beberapa
kebutuhan dasar sekaligus seperti fisiologis, keamanan, dan aktualisasi diri.
Teori lain menjelaskan bahwa motivasi berwisata bersifat sangat alamiah dapat
terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Motivasi berwisata tidak harus
tersusun secara sistematis dan berjenjang. Gray, misalnya menyebutkan bahwa motivasi
berwisata yang pertama adalah pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi
(wanderlust).
Suatu keinginan yang kuat untuk melakukan perjalanan atau eksplorasi ke
“dunia baru” untuk mendapatkan pengalaman pertama melihat budaya dan tempat yang
baru.
Motivasi yang kedua adalah pergi ke tempat-tempat yang menawarkan sesuatu yang
unik, spesifik, yang tidak didapatkan di tempatnya berada (sunlust).
Suatu keinginan untuk
mendapatkan sesuatu yang berbeda dan lebih baik, atau untuk kebutuhan khusus hal-hal
yang spesifik yang tidak dapat ditemui ditempatnya (lokal). Berbagai bahasan di atas, menunjukkan masih sangat berpihaknya pandangan
terhadap kebutuhan wisatawan.
Motivasi hanya sering dilihat dari sisi wisatawannya dan
bukan dari sisi tuan rumah. Kebijakan yang ada bahkan sering tidak menyentuh hal-hal
terkait dengan kenyamanan penduduk lokal.
Destinasi disiapkan dalam rangka memenuhi
kebutuhan wisatawan yang terus berproses, dan komunitas hanya perlu mempersiapkan
diri atas kebutuhan wisatawan, termasuk menyesuaikan diri dengan proses untuk selalu
menghadirkan wisatawan.
Pembangunan kemudian hanya bertujuan untuk menghasilkan
pendapatan dari pariwisata dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Pandangan ini menyebabkan komunitas menjadi sangat tergantung pada hadirnya
wisatawan dan mereka tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri
seperti pernyataan Howard Thurman bahwa “Community cannot for long feed on itself; it
can only flourish with the coming of others from beyond, their unknown and undiscovered
brothers”.
Bila ini yang terjadi, komunitas yang terbentuk akan menjadi komunitas yang
tidak mandiri dan tidak kreatif.
Mereka akan menjadi komunitas yang ringkih dan selalu
tergantung pada kehadiran wisatawan, padahal wisatawan itu sendiri bersifat sangat labil
dalam memilih tujuan kunjungan. Wisatawan bisa tidak datang lagi ke suatu destinasi karena beberapa hal.
Karena mereka sudah terlalu sering ke sana, produk yang dihasilkan
oleh destinasi yang bersangkutan tetap dan membosankan karena ada tawaran dari
destinasi lain yang lebih menarik, atau karena hal lain seperti terjadinya bencana alam dan
rentannya keamanan di destinasi yang biasa dikunjunginya.
Bila ini terjadi, masyarakat
lokal akan benar-benar menerima bencana besar dalam kehidupannya.
Pandangan dari sisi wisatawan saja akan menyebabkan berbagai persoalan.
Pertama, akan terjadi diskriminasi pada perlakuan terhadap penggunaan jas dan fasilitas
publik.
Jasa publik seharusnya dapat diberikan kepada siapa saja dengan tidak
membedakan statusnya. Artinya, ketika penduduk lokal menggunakan sarana transportasi
lokal atau hotel, maka ia harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan wisatawan,
bukan sebaliknya.
Kedua, pembangunan pariwisata di destinasi akan menafikan tujuan
untuk memberdayakan masyarakat. Pembangunan pariwisata yang hanya bertujuan untuk
mendorong tumbuhnya industri sering mengabaikan kesempatan masyarakat lokal untuk
terlibat di dalamnya.
Standar-standar yang dibangun dalam industri pariwisata sering tidak
diimbangi dengan kemauan untuk memberdayakan masyarakat itu sendiri, sehingga
masyarakat tidak memiliki tempat dan kesempatan untuk terlibat dalam bisnis pariwisata
ini.
Ketiga, akan terjadi ekslusivitas spasial. Rencana tata ruang yang mengarahkan
penggunaan ruang sebagai kawasan pariwisata dan non pariwisata sering menyebabkan
terjadinya pemisahan sosial.
Resort sering menjadi daerah yang sangat ekslusif dengan
fasilitas yang berlimpah, termasuk ketersediaan air bersih, listrik dan sebagainya, namun di
luar wilayah itu masih dimungkinkan terdapat bentuk kehidupan masyarakat yang
berkekurangan.
Pertanyaannya, mengapa justru tidak dikembangkan pandangan-pandangan lain
dari sisi tuan rumahnya ? menyangkut motivasi tuan rumahnya ? pandangan terhadap
kepentingan masyarakat di destinasi yang bersangkutan menjadi sangat penting karena
bukanlah tujuan akhir pembangunan pariwisata justru untuk kesejahteraan masyarakat ?
dan bukankah masyarakat juga memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama dengan
wisatawan dan kehidupannya ? bukankah masyarakat juga memerlukan dan memiliki hak
untuk dapat dihargai sebagai salah satu kebutuhan hidupnya ?
mengapa pula tidak
dikembangkan pemikiran bahwa masyarakat yang mempengaruhi wisatawan dan bukan
hanya sebaliknya ? atau agar mereka dapat saling mempengaruhi dalam bentuk simbiosis
mutualisme yang lebih adil ?
Sayangnya, berbeda dengan tulisan mengenai motivasi wisatawan, tulisan
mengenai motivasi masyarakat dalam menerima kunjungan wisatawan masih sangat erbatas, kalau tidak mau disebutkan belum ada, karena sulitnya mencari referensi
mengenai ini.
Studi yang banyak ditemui adalah lebih pada dampak kunjungan wisatawan
terhadap masyarakat lokal, baik dampak sosial maupun ekonomi, termasuk perubahan
perilaku masyarakat lokal sebagai akibat kunjungan wisatawan.
Perubahan perilaku
kelompok masyarakat seharusnya menjadi bagian penting pula dalam upaya
pengembangan pariwisata.
Posting Komentar untuk "MOTIVASI WISATAWAN"