Cara Mengatasi Korupsi Menurut Agama Buddha
Mengatasi masalah kejahatan korupsi dapat dilakukan secara preventif, dapat
pula dengan represit antara lain dengan teknik rehabilitasi. Menurut Cressey
ada dua konsepsi mengenai teknik rehabilitasi. Pertama, menciptakan sistem
dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat
tersebut.
Program tersebut bersifat reformatif, misalnya hukuman bersyarat,
hukuman kurungan serta hukuman penjara. Teknik kedua lebih ditekankan
pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa (yang tidak jahat).
Dalam hal ini, maka selama menjalani hukuman bersyarat, diusahakan mencari
pekerjaan bagi si terhukum dan diberikan konsultasi psikologis.
Kepada
narapidana di lembaga-lembaga pemasyarakatan diberikan pendidikan serta latihan-latihan untuk menguasai bidang-bidang tertentu, supaya kelak setelah
masa hukuman selesai punya modal untuk mencari pekerjaan di masyarakat.
Hal ini merupakan usaha/daya upaya untuk mengatasi tindak kejahatan.
Dalam agama Buddha strategi mendasar untuk mengatasi kejahatan adalah
dengan melaksanakan daya upaya benar. Daya upaya atau usaha benar ini
mempunyai dua segi.
Segi yang pertama adalah suatu kemauan kuat untuk
mencegah timbulnya keadaan-keadaan batin yang jahat atau tidak sehat
(negatif), dan menghilangkan keadaan-keadaan demikian yang telah ada dalam
batinnya.
Segi yang kedua adalah suatu kemauan kuat untuk menumbuhkan
dan mengembangkan keadaan-keadaan batin yang baik dan sehat (positif)
yang belum ada, dan meningkatkan serta menyempurnakan keadaan-keadaan
demikian yang telah ada dalam batinnya.
Jadi yang disebut dengan daya upaya
benar dalam usahanya meningkatkan kualitas batin terdiri atas empat hal yaitu:
1. usaha rajin agar keadaan jahat dan buruk tidak timbul di dalam diri
seseorang (samvarappadhana),
2. usaha rajin untuk menghilangkan keadaan dan buruk yang telah timbul
dalam diri seseorang (pahanappadhana),
3. usaha rajin untuk menimbulkan keadaan-keadaan baik yang belum
timbul di dalam diri seseorang (bhāvanāppadhana),
4. usaha rajin untuk menjaga keadaan-keadaan baik yang telah timbul dan tidak
membiarkan mereka lenyap (anurakkhappadhana) (Anguttara Nikaya II.16).
Pencegahan dan pemberantasannya diperlukan upaya yang serius dan
penanganan yang luar biasa pula. Sehingga tidak menghambat pembangunam
bangsa serta menyengsarakan rakyat secara berkepanjangan.
Upaya pencegahan
dan pemberantasan korupsi memerlukan berbagai cara pendekatan yang tepat.
Beberapa di antaranya yaitu melalui penyadaran bagi pelaku atau masyarakat
itu sendiri agar malu dan takut berbuat kejahatan dan tidak terlibat perbuatan
korupsi.
Selain itu, penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen dengan
memberikan hukuman berat bagi para koruptor.
1. Menumbuhkan pandangan dan pikiran benar
Pandangan benar adalah mengetahui segala sesuatu sebagaimana
mestinya. Segala sesuatu tidak ada yang terjadi secara kebetulan melainkan
adanya hubungan sebab dan akibat. Sementara itu, pikiran benar adalah
pikiran yang terbebas dari kebodohan, ketamakan, dan kebencian.
Pandangan benar dan pikiran benar merupakan kunci untuk dapat
melakukan ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar. Pikiran merupakan kendali terhadap segala sesuatu. Segala sesuatu
yang muncul dalam diri kita diawali dari pikiran dan tidak akan pernah
lepas dari pikiran.
“Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran
adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk, bila seseorang berbicara
atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya
bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya”
(Dhammapada, Yamaka Vagga, 1).
Demikian pula sebaliknya, “Pikiran
adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran
adalah pembentuk, bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran
baik, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang
tak pernah meninggalkan bendanya” (Dhammapada, Yamaka Vagga, 2).
“Siapapun yang marah, yang memiliki niat buruk, yang berpikiran
jahat dan iri hati; yang berpandangan salah, yang penuh tipu muslihat, dialah
yang disebut dengan sampah, … Siapapun yang mencuri apa yang dianggap
milik orang lain, baik yang ada di desa atau di hutan, dialah yang disebut
sampah, Siapapun yang memberikan sumpah palsu untuk kepentingan diri
sendiri, untuk kepentingan orang lain atau untuk mendapatkan keuntungan,
dialah yang disebut sampah.
Siapapun yang munafik yang setelah
melakukan pelanggaran kemudian ingin menyembunyikan dari orangorang lain, dialah yang disebut sampah.
Dalam kitab Vasala Sutta: Buddha menngajarkan bahwa bukan
karena kelahiran orang menjadi sampah.
Bukan karena kelahiran pula
orang menjadi brahmana (mulia). Oleh karena perbuatanlah orang menjadi
sampah. Oleh karena perbuatanlah orang menjadi Brahmana.
Dalam agama Buddha diajarkan cara yang baik untuk mendapatkan
kekayaan.
Dalam Vyagapajja Sutta dijelaskan bahwa untuk memperoleh
salah satu kebahagiaan duniawi dengan memiliki kekayaan, seseorang
haruslah, “tekun bekerja, menggunakan kekayaan dengan sebaik-baiknya,
mempunyai teman yang baik, dan tidak boros.
Inilah solusi untuk
mendapatkan kekayaan secara benar.
Agar semangat bekerja, dalam Dhammapada 112 juga disebutkan,
“Daripada hidup seribu tahun tetapi malas dan tidak bersemangat adalah
lebih baik hidup sehari dari orang yang tekun dan bersemangat.
Dalam kitab Majjhima Nikaya, III, 75 Buddha mengajarkan ada
lima penghidupan yang salah, yang harus dihindari yiatu: menipu orang
lain (kahana), menjilat (lapana), memfitnah (memitakata), menggelapkan
(nippesikata), mencari untung yang berlebihan (lobha).
2. Menumbuhkan moralitas
Perbuatan korupsi merupakan gambaran kemerosotan moral bangsa.
Semua itu merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang harus dilenyapkan
dari muka bumi karena akan merugikan banyak pihak. Salah satu cara
untuk mengatasinya yaitu dengan menumbuhkembangkan moralitas.
Moralitas akan dapat diwujudkan jika kita benar-benar menanamkan rasa
malu untuk berbuat jahat dan rasa takut akan akibat dari perbuatan jahat.
Hal ini dikarenakan kedua sifat luhur tersebut merupakan dasar atau sebab
terdekat dari moralitas.
Sifat malu dalam berbuat jahat dan takut akan akibat dari perbuatan
jahat merupakan bagian dari bentuk-bentuk pikiran yang baik yang harus
dikembangkan dalam kehidupan.
Jika seseorang memiliki rasa malu untuk
berbuat jahat niscaya sekecil apapun perbuatan yang dilakukan akan disertai
kehati-hatian, ia selalu menjaga dengan penuh kewaspadaan agar apapun
yang dilakukan tidak membuatnya tercela.
Demikian pula jika seseorang
memiliki rasa takut akan akibat dari perbuatan jahat maka segala perbuatan
yang dilakukan sekecil apapun akan selalu mempertimbangkan akibat
yang ditimbulkannya.
Jika semua umat beragama sadar, maka semestinya
berupaya mengembangkan sifat mental positif ini (malu dan takut) agar
tumbuh dengan subur dalam batin masing-masing sehingga akan medorong
peningkatan manusia yang bermoral tinggi.
Kita diberi kebebasan untuk bekerja atau mengumpulkan kekayaan
(harta), tetapi yang perlu diperhatikan adalah cara untuk memperoleh
kekayaan tersebut haruslah dengan penghidupan yang benar (samma ajiva).
Penghidupan yang benar yaitu mencari nafkah dengan berpedoman pada
prinsip moral yang baik, tidak merugikan makhluk lain, dengan cara yang
terhormat, sunguh-sunguh dalam menjalakan kewajiban, penuh kewaspadaan
dan kehati-hatian baik dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya.
Lebih lanjut kita sebagai umat Buddha harus mengetahui lima landasan
moral (panca sila), dimana pentingya pemahaman terhadap sila ke-2 dan
ke-4 yang berbunyi “aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan
barang yang tidak diberikan” dan “aku bertekad melatih diri menghindari
ucapan yang tidak benar”.
Aspek dari korupsi lebih menitikberatkan pada
tindakan sila tersebut. Oleh sebab itu, perlu dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari guna menghindari tindakan korupsi.
3. Menumbuhkan Pengembangan Batin
Nafsu keinginan merupakan suatu penghalang, penghambat yang
menutupi batin dan melemahkan kebijaksanaan. Buddha menerangkan
bahwa manusia yang melekat erat kepada rangsangan-rangsangan indra
yang diterimanya melalui mata, telinga, hidung, lidah, dan badan.
Beliau
berbicara tentang adanya lima pantai (pintu) nafsu-nafsu keinginan. Dalam
Subhasutta (Majjhima Nikaya, Brahmanavagga), Buddha menerangkan
lima pintu nafsu-nafsu keinginan, yaitu sebagai berikut.
- Bentuk-bentuk yang terlihat oleh mata, disetujui, disenangi, disukai, menggiurkan, berhubungan dengan nfsu-nafsu yang memikat.
- Suara-suara yang didengar oleh telinga.
- Bebauan yang dicium oleh hidung.
- Rasa yang dikecap oleh lidah.
- Sentuhan-sentuhan yang diterima oleh badan.
Selanjutnya dikatakan:
“Dia yang batinnya dikuasai oleh ketamakan (nafsu keinginan) yang tiada
terkendalikan, dia akan mengerjakan apa yang seharusnya tidak boleh
dikerjakan, dan akan lalai terhadap apa yang seharusnya dikerjakan.
Maka
dengan sendirinya nama baik serta kebahagiaannya akan menjadi hancur.”
Dengan demikian jelas bahwa nafsu keinginan ini berakibat tidak baik
karena dapat menyebabkan seseorang menjadi tidak produktif atau produktif
tetapi kearah yang salah (korupsi).
Oleh karena itu cara mengatasinya adalah ia harus berusaha untuk mencegah
nafsu keinginan melalui penjagaan terhadap pintu-pintu indranya, seperti yang
diuraikan dalam Dantabhumi Sutta, Majjhima Nikaya, sebagai berikut.
“Jagalah pintu-pintu kemampuan indramu.
Ketika melihat bentuk dengan
mata, jangan menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, seandainya
saja engkau membiarkan kemampuan matamu tidak terjaga, keadaan-keadaan
yang jahat dan tak-bajik dari ketamakan dan kesedihan bias menyerangmu,
latihlah cara pengendaliannya, jagalah kemampuan mata, jalankan pengendalian
kemampuan mata.
Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium
bebauan dengan hidung ... Ketika mencicipi citarasa dengan lidah ... Ketika
menyentuh objek-sentuhan dengan tubuh... Ketika mengkognisi objek-pikiran
dengan pikiran, jangan menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya.
Karena,
seandainya saja engkau membiarkan kemampuan pikiran tidak terjaga, keadaan-keadaan yang jahat dan tak-bajik dari ketamakan dan kesedihan bias
menyerangmu, latihlah cara pengendaliannya, jagalah kemampuan pikiran,
jalankan pengendalian kemampuan pikiran.”
Posting Komentar untuk "Cara Mengatasi Korupsi Menurut Agama Buddha"