Kehancuran Alam Semesta Dalam Agama Buddha
Kehancuran alam semesta dalam pandangan agama Buddha terdapat dalam kitab Suriya Sutta. Kehancuran alam semesta ditandai dengan usia rata-rata manusia terus turun hingga sepuluh tahun. Kemudian naik kembali sampai umur manusia rata-rata tidak terhitung dan kemudian turun lagi.
Pada akhir masa dunia (kehancuran bumi) muncullah suatu masa dimana hujan tidak pernah lagi turun. Setelah lama berlalu, maka muncullah matahari kedua. Pada kemunculan matahari kedua tidak dapat dibedakan antara siang dan malam.
Munculnya matahari kedua menurut kitab Suriya Sutta, ditandai adanya dua matahari yang saling mengorbit satu sama lain dalam satu sistem tata surya di Galaksi Bimasakti atau di Galaksi yang lain.
Dalam ilmu astronomi, matahari dan tata surya lain yang nampak dari bumi disebut bintang. Bintang adalah benda langit yang memancarkan cahayanya sendiri di angkasa selain matahari. Sekelompok besar matahari yang berjumlah banyak disebut Galaksi.
Menurut data hasil pengamatan ahli Astronomi ada suatu sistem bintang yang disebut sistem bintang Binary (Biner) yaitu sistem bintang yang terdiri dari dua matahari atau lebih yang saling mengorbit.
1. Kehancuran alam semesta karena api
Pada suatu ketika bumi ini akan hancur atau mengalami suatu perubahan. Secara umum istilah peristiwa kehancuran bumi dikenal dengan kiamat.
Kehancuran bumi bukanlah merupakan akhir kehidupan kita. Bumi bagi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya lain yang tersebar di alam semesta ini.
Dalam kutipan Kitab Visuddhi Magga, di masa yang akan datang, setelah muncul Buddha yang terakhir pada siklus bumi sekarang, akan ada suatu masa muncul awan tebal yang menyirami seratus miliar tata surya.
Manusia bergembira mengeluarkan benih dan menanamnya tetapi tiada lagi hujan yang turun setetespun sejak saat itu. Kahancuran bumi menurut Kitab Anggutara Nikaya, Sattakanipata berawal dari musim kemarau yang lama sekali.
Selanjutnya, dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini muncullah matahari yang kedua. Berselang suatu masa yang lama muncul matahari ketiga, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam, dan akhirnya matahari ketujuh.
Terjadinya kemarau panjang sampai matahari ketujuh terjadi perubahan-perubahan yang besar di bumi ini. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi ini seperti bola api dan akhirnya seperti debu dan lenyap bertebaran di alam semesta. Kehancuran alam semesta karena panas dan api ditandai adanya peristiwa berikut.
- Tidak ada hujan dalam waktu yang lama (ratusan tahun hingga ratusan ribu tahun). Akibatnya semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon-pohon penghasil obat, pohon palem, dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering kemudian mati.
- Selanjutnya akan tiba suatu masa ketika matahari kedua muncul sehingga semua sungai dan danau surut, kering, dan tiada. Ketika matahari kedua telah muncul, tak bisa dibedakan antara siang dan malam. Setelah matahari yang satu tenggelam yang lain terbit. Dunia merasakan terik matahari tanpa henti, tetapi tidak ada dewa yang mengatur matahari pada waktu kehancuran kappa berlangsung seperti pada matahari yang biasa (karena dewa matahari pun mencapai jhāna dan terlahir kembali di alam Brahma).. Pada waktu matahari yang biasa bersinar awan kilat dan uap air berbentuk gelap memanjang melintasi angkasa. Akan tetapi, pada kehadiran matahari penghancur kappa angkasa sama kosongnya dengan cakram kaca jendela tanpa kehadiran awan dan uap air.
- Selanjutnya akan tiba suatu masa, matahari ketiga muncul sehingga semua sungai besar seperti sungai Gangga, sungai Yamuna, sungai Aciravati, Sungai Sarabhu akan menguap, surut, kering dan tiada
- Selanjutnya akan tiba suatu masa, matahari keempat muncul sehingga semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar yaitu Danau Anotatta, Danau Sihapapata, Danau Rathakara, Danau Kannamunda, Danau Kunala, Danau Chaddanta, dan Danau Mandakini surut, kering dan tiada.
- Selanjutnya akan tiba suatu masa, matahari kelima muncul sehingga air maha surut 100 yojana. Lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana, 700 yojana. Air maha samudra semakin surut hingga kedalamannya tersisa hanya setinggi satu orang dewasa saja. Hingga akhirnya, air maha samudra surut sampai sedalam tinggi mata kaki.
- Selanjutnya akan tiba suatu masa, matahari keenam muncul membuat seluruh dunia menjadi gas. Semua kelembapannya telah menguap, seratus miliar tata surya yang ada di sekeliling tata surya kita juga menguap. Ketika matahari keenam muncul maka bumi ini dengan Gunung Sineru sebagai raja gunung mengeluarkan dan menyemburkan asap.
- Selanjutnya akan tiba suatu masa, matahari ketujuh muncul sehingga seluruh dunia (tata surya) bersama dengan seratus miliar tata surya yang lain terbakar. Puncak Sineru yang tingginya lebih dari seratus yojana juga ikut hancur berantakan dan lenyap di angkasa. Kebakaran bertambah besar dan menyerang alam dewa Cātumahārājika. Setelah membakar istana emas, istana permata, dan istana Kristal, kebakaran merambat terus ke alam surga Tavatimsa dan naik terus ke alam Brahma Jhāna pertama. Setelah membumi hanguskan alam Brahma Jhāna kedua yang lebih rendah, api berhenti sebelum mencapai alam Brahma Abhassara.
2. Kehancuran alam semesta karena air
- Masa Penyusutan (samvatto). Masa ini ditandai dengan timbulnya awan yang mengawali kehancuran kappa sampai air kaustik surut.
- Masa Setelah Penyusutan (samvattathayi). Masa ini ditandai dengan surutnya air kaustik sampai timbulnya awan besar pemulihan yang menyirami seratus miliar tata surya.
- Masa Pengembangan (vivato). Masa ini setelah pemulihan sampai munculnya bulan dan matahari.
- Masa Setelah Ekspansi (vivatthayi). Masa setelah munculnya bulan dan matahari sampai munculnya awan yang mengawali kehancuran.
Posting Komentar untuk "Kehancuran Alam Semesta Dalam Agama Buddha"