Sikap Keberagaman dalam Agama Buddha
Menganut salah satu agama secara tidak langsung sudah diwajibkan
bagi Warga Negara Indonesia, karena negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Enam agama yang secara resmi diakui
oleh negara masing-masing memiliki ciri, karakter, ajaran, bahkan berbeda
dalam menyebarkan paham ajaran mereka.
Masing-masing agama yang diakui di
Indonesia ini terpecah-pecah menjadi sekte-sekte lagi yang memiliki paham yang
berbeda-beda juga.
Agama Buddha yang awalnya hanya satu kemudian muncul menjadi banyak
sekte sesaat setelah Buddha Parinibbana.
Agama Buddha di India saat itu terdapat
18 sekte. Pada masa sekarang sekte utama agama Buddha di dunia terdiri dari 3
sekte yaitu Mahayana, Theravada, dan Vajrayana.
Masing-masing sekte ini juga
terpecah lagi menjadi sub-sub sekte, seperti dalam Mahayana terdapat sekte
Pure Land (Tanah Suci) sekte Tzu Chi, dan lainnya, sedangkan sekte Theravada
di Thailand terdapat Mahanikay dan Dhammayutt.
Kemajemukan sekte dan sub
sekte agama Buddha ini juga mempengaruhi agama Buddha di Indonesia, yang
perlu disikapi dengan bijaksana. Banyaknya agama yang diakui di Indonesia dan banyaknya sekte yang ada
pada masing-masing agama, serta banyaknya sekte dan sub sekte dalam agama
Buddha membentuk sikap keberagamaan.
Sikap-sikap tersebut di antaranya
disebut dengan pluralisme atau paralelisme, inklusivisme, eksklusivisme, serta ada
yang menyebutkan eklektisisme, dan universalisme. Selain lima paham tersebut
terdapat sikap toleransi dalam keberagamaan. Masing-masing sikap keberagamaan
ini akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini.
1. Pluralisme dan Paralelisme
Kemajemukan dalam berbagai bidang kehidupan di dunia, juga di masyarakat
Indonesia melahirkan paham pluralisme atau yang juga disebut dengan paralelisme.
Kata pluralisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) diartikan
sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial
dan politiknya).
Pluralisme juga diartikan sebagai sikap saling menghormati dan
toleransi antara satu dan lainnya sehingga tercipta kedamaian, tanpa konflik dan
permusuhan. Paham ini berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama
merupakan suatu realitas.
Pendapat lain menyatakan bahwa pluralisme adalah
sikap/pandangan bahwa banyaknya kepercayaan adalah suatu keniscayaan/
keharusan yang masing-masing berdiri sejajar (paralel). Adanya pandangan ini
membuat peran misionaris atau dakwah dianggap suatu tindakan yang tidak
bijaksana, karena masing-masing agama saling melengkapi.
Paralelisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) diartikan
sebagai hal sejajar; kesejajaran; kemiripan.
Pendapat lain menyatakan bahwa
paralelisme dapat terekspresi dalam macam-macam rumusan misalnya: ”Agamaagama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang
sama”; ”Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenarankebenaran yang sama sah”; atau setiap agama mengekspresikan bagian penting
sebuah kebenaran.” Pada intinya pengertian antara pluralisme dan paralelisme
hampir sama.
2. Inklusivisme
Paham ini berbeda dengan paham pluralisme, karena dalam paham
inklusivisme tidak menyamakan paham ajaran, tetapi menerima kebenaran agama
sendiri tanpa menolak adanya kebenaran dari agama lainnya.
Sama halnya dalam
agama Buddha bahwa setiap umat Buddha hendaknya menyadari, agama Buddha
tidak hanya terdapat sekte Theravada, Mahayana, atau Vajrayana, tetapi ketigatiganya ada. Umat Buddha harus menerima bahwa ada sekte atau sub sekte di
luar sekte yang mereka anut, yang juga mengajarkan ajaran Buddha untuk menuju
kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana.
3. Eksklusivisme
Bagi seorang eksklusivist, untuk bertemu pada kebenaran, tidak ada jalan lain
selain orang membuang agama-agama lain, dan merangkul agama dan masuk
ke dalam lembaga tempat ibadahnya. Orang yang menganut paham ini, tidak
memiliki toleransi maupun menghargai dan menghormati agama lain.
Sikap
orang dan kelompok masyarakat seperti inilah yang mengancam kemajemukan,
mengancam perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
demikian, paham ini dapat menimbulkan peperangan dan konflik bagi negara
yang majemuk.
Jika paham ini diterapkan di Negara Indonesia, maka negara ini
akan hancur. Paham eksklusivisme ini juga tidak dapat diterapkan dalam agama
Buddha yang memiliki banyak sekte dan subsekte. Jika ada sekelompok umat
Buddha yang bersikeras menerapkan paham ini, maka agama Buddha akan habis.
Agama Buddha di Indonesia merupakan agama minoritas, karena itu paham
eksklusivisme ini harus dilenyapkan baik dalam hubungannya dengan intern umat
Buddha maupun antar umat agama lainnya.
4. Eklektivisme
Sikap dan paham eklektisisme ini, jika diterapkan dalam keberagamaan dapat
menimbulkan kesalahan dalam penerapan ajaran, ciri khas dari agama tersebut
akan kabur, serta menimbulkan pendangkalan keberagamaan.
Penerapan sikap ini
jika diterapkan dalam kemajemukan sekte agama Buddha juga akan menimbulkan
pendangkalan terhadap keberagaman sekte agama Buddha, meskipun sesungguhnya keberagaman sekte agama Buddha menimbulkan masalah.
5. Universalisme
Berdasarkan sejarah universalisme dalam hubungannya dengan agama Buddha,
paham ini menganggap bahwa semua manusia pada akhirnya akan mendapatkan
karma baik atau buruk sesuai dengan perbuatannya.
Paham ini juga diartikan
sebagai paham yang tidak mengabaikan nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan
karena pada dasarnya agama ada untuk manusia.
Jika dilihat dari pengertian paham universalisme berdasarkan sejarah dalam
Budhisme, paham ini menyatakan bahwa meskipun agama berbeda-beda tetapi
pada prinsipnya penganutnya akan menikmati hidup sesuai dengan kebajikan
atau perbuatan.
Sedangkan dalam konteks pemahaman semua agama dapat
diartikan bahwa meskipun agama berbeda-beda tetapi pada prinsipnya manusia
akan diselamatkan. Jika diartikan dalam pemahaman Buddhis, meskipun agama
berbeda-beda pada prinsipnya semua agama memiliki tujuan yang sama yaitu
kebahagiaan yang bersifat universal.
6. Toleransi
Toleransi didefinisikan sebagai perilaku yang bersahabat dan adil terhadap
pendapat dan praktik atau terhadap orang yang memegang atau mempraktikannya.
Sebagai transportasi modern dan komunikasi telah membawa kita semua menuju
lingkup kedekatan kepada orang-orang yang berbeda dan gagasan yang berbeda,
kita memiliki kebutuhan yang lebih besar pada toleransi.
Buddha telah memberikan teladan sikap toleran ketika beliau menghadapi
kemajemukan kepercayaan pada masa kehidupan beliau. Tokoh lain yang
menunjukkan sikap toleransi adalah Raja Asoka dalam Prasasti Batu Kalinga
Nomor XXII mengatakan sebagai berikut.
”Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama lain.
Sebaliknya, agama lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu.
Dengan berbuat demikian kita membuat agama kita sendiri berkembang, selain
menguntungkan pula agama lain.
Jika kita menghina agama lain hal itu akan
merugikan agama kita sendiri, di samping merugikan agama orang lain.
Oleh
karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama lain
semata-mata terdorong rasa bakti kepada agamanya sendiri dan dengan pikiran
bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri, justru dapat merugikan
agamanya sendiri.
Karena itu, kerukunan dianjurkan dengan pengertian biarlah
semua orang mendengar dan bersedia mendengar ajaran yang dianut orang lain”.
Asoka telah menunjukkan bahwa penghormatan terhadap agama sendiri
bukanlah berarti dengan cara mencela agama orang lain.
Justru menghormat
agama orang lain sampai batas-batas tertentu atas dasar menghormati agama
sendiri.
Demikian juga penghormatan terhadap sekte atau subsekte sendiri
bukan berarti dengan mencela atau merendahkan sekte orang lain, tetapi dengan
menghargai sekte orang lain, maka akan menghargai sekte sendiri dan sekte
sendiri akan dihargai oleh sekte lain.
Posting Komentar untuk "Sikap Keberagaman dalam Agama Buddha"