Sejarah Penyiaran Agama Buddha Zaman Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar di Sumatra Selatan.
Tempat ini banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan
membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra,
Jawa, sampai pesisir Kalimantan.
Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya”
atau “gemilang”. wijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”.
Jadi, pusat kekuasaan nama Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gilanggemilang.” Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini pada zaman itu berasal
dari abad ke-7; seorang pandita Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi
Sriwijaya pada tahun 671 M dan tinggal di sana selama 6 bulan.
Kerajaan Sriwijaya |
Pada awalnya, Sriwijaya hanya sebuah kerajaan kecil. Sriwijaya berkembang
menjadi kerajaan besar setelah dipimpin oleh Dapunta Hyang. Dapunta Hyang
berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaankerajaan di sekitarnya.
Sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya berupa prasasti dan Berita Cina. Ada
dua sumber yang berupa prasasti, yaitu berasal dari dalam negeri dan dari luar
negeri. Prasasti yang berasal dari dalam negeri antara lain: Prasasti Kedukan Bukit
(683M), Talang Tuwo (684M), Telaga Batu (683), Kota Kapur (686), Karang Berahi
(686), Palas Pasemah dan Amoghapasa (1286).
Prasasti yang berasal dari luar negeri antara lain adalah Ligor (775), Nalanda,
Piagam Laiden, Tanjore (1030M), Canton (1075M), Grahi (1183M) dan Chaiya
(1230).
Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah
Kitab Pararaton. Sumber naskah dari luar negeri antara lain kitab Memoir dan
Record karya I-Tsing, Kronik Dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Lingwai- tai-ta
karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua.
Menurut Coedes, Sriwijaya berkembang pada abad ke-7 di Palembang dan
runtuh pada abad ke-14.
Pendapatnya didasarkan pada ditemukannya toponim
Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya, Shih Li Fo Shih merupakan perkataan
Cina untuk menyebut Sriwijaya.
Sementara itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber
Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 merupakan kependekan dari
Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat lain, dia setuju dengan pendapat
Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih adalah Sriwijaya.
Namun, San
Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih. Menurutnya, Sriwijaya berkembang
sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi
(Swarnabhumi).
Mengenai ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah
yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit, yaitu Minanga.
Prasasti Kedukan
Bukit berangka tahun 604 Saka (682 M) ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di
tepi Sungai Tatang, dekat Palembang.
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra Dewa.
Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa
dari India. Dalam Prasasti Nalanda, disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa
menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara bagi para pandita
Sriwijaya yang belajar agama Buddha di India.
Selain itu, dalam Prasasti Nalanda
juga disebutkan bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa menunjukkan bahwa
Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya.
1. Agama dan Budaya
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya
menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara
di Asia.
Para peziarah antara lain pandita dari Tiongkok,
I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam
perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India,
pada tahun 671 dan 695, serta di abad ke-11, Atisha,
seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan
dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet.
I
Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi
sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran
agama Buddha.
Pengunjung yang datang ke pulau ini
menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di
pesisir kerajaan. Selain itu, ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana juga terus berkembang
di Sriwijaya.
a. Agama
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah
dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pandita dari Tiongkok, I Tsing,
yang melakukan kunjungan ke Sumatra dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695.
I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran
agama Buddha. Selain berita di atas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing,
dinyatakan bahwa terdapat 1.000 orang pandita yang belajar agama Budha pada
Sakyakirti, seorang pandita terkenal di Sriwijaya.
Pengunjung yang datang ke
pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan abad ke-10,
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India. Pertama oleh budaya
Hindu, kemudian diikuti pula oleh budaya Buddha.
Peranannya dalam agama
Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha
di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui
perdagangan dan penaklukan sejak abad ke-7 hingga abad ke-9.
Dengan demikian,
Sriwijaya secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta
kebudayaannya di Nusantara.
Berikut adalah gambaran Sriwijaya menurut I Tsing:
“.... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan
percaya dan mengagumi Buddha, di hati mereka telah tertanam perbuatan baik.
Di
dalam benteng Kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1.000 bhiksu/bhikkhu Buddha,
yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang
biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan
di India”.
Sriwijaya termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara. Hal
ini tentu saja menarik minat para pedagang Timur Tengah.
b. Budaya
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, suatu
komunitas kompleks dan kosmopolitan yang sangat
dipengaruhi alam pikiran Buddha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya.
Beberapa
Prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti
Talang Tuo menggambarkan ritual Buddha untuk
memberkati peristiwa penuh berkah, yaitu peresmian Taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya
untuk rakyatnya.
Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan
dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan. Prasasti
Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara
Sriwijaya atas Jawa.
Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu
Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia
modern.
Sejak abad ke-7, bahasa Melayu Kuno telah
digunakan di Nusantara. Hal itu ditandai dengan
ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan
beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti seni Sriwijaya
sekitar abad ke-9 M yang ditemukan di Pulau Jawa.
Hubungan dagang yang
dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa
Melayu karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak
saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh
banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer,
Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit peninggalan purbakala di jantung
negerinya di Sumatra. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah
saat kepemimpinan Wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar
seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur.
Candi-candi Buddha
yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatra antara lain Candi Muaro Jambi, Candi
Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi, tidak seperti candi periode Jawa
Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatra terbuat dari bata merah.
Beberapa arca atau Rupang bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Buddha
yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatva
Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatra Selatan.
Semua arca ini menampilkan keanggunan dan langgam
yang sama yang disebut “Seni Sriwijaya” atau “Langgam atau Gaya Sriwijaya” yang
memperlihatkan kemiripan mungkin diilhami oleh langgam Amarawati India dan
langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai dengan ke-9).
2. Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya
menjadi pengendali jalur perdagangan
antara India dan Tiongkok, yakni
dengan penguasaan atas Selat Malaka
dan Selat Sunda.
Orang Arab mencatat bahwa
Sriwijaya memiliki aneka komoditas
seperti kapur barus, kayu gaharu,
cengkih, pala, kepulaga, gading,
emas, dan timah, yang membuat rajaraja Sriwijaya memiliki kekayaan
berlimpah.
Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara.
Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara,
dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China
untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring
perdagangan bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan
India.
Karena alasan itulah, Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya
dengan selalu mengawasi dan jika perlu memerangi pelabuhan pesaing di negara
jajahannya.
Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang
mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar
pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala
Sriwijaya.
Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di Pulau Bangka, Tarumanagara,
dan Pelabuhan Sunda di Jawa Barat,
Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di Semenanjung
Malaka adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukkan dan diserap ke
dalam lingkup pengaruh Sriwijaya.
Disebutkan dalam catatan sejarah Champa, adanya serangkaian serbuan
angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa
dan Kamboja.
Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada
Sriwijaya karena saat itu Wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala
Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli
perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya.
Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sejak tahun 670
hingga 1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur, yaitu menggambarkan
Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari
lautan Nusantara sekitar abad ke-8.
Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan
dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu
bangsa Austronesia. Perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia
berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia.
Kapal layar
bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal
yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya,
kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke13 Masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Pada paruh pertama abad ke-10, di
antara kejatuhan Dinasti Tang dan naiknya Dinasti Song, perdagangan dengan
luar negeri cukup marak, terutama Fujian, Kerajaan Min dan Kerajaan Nan Han
dengan negeri kayanya Guangdong.
Tidak diragukan lagi, Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah, diperkirakan rakyat Sriwijaya
mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) yang masuk melalui
perdagangan mereka.
3. Penyebaran Penduduk Kemaharajaan Bahari
Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia
Tenggara berjalan seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan
bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran
yang berpotensi sebagai pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan
pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan.
Sebagai kemaharajaan bahari,
pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman.
Sriwijaya sebagian besar menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir
pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan
lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian Pulau Madagaskar.
Diduga
penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah menghuni dan membangun populasi
di Pulau Madagaskar yang terletak 3.300 mil atau 8.000 kilometer di sebelah barat
di seberang Samudra Hindia.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal
Proceedings of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar
adalah orang Indonesia. Para peneliti meyakini bahwa mereka adalah pemukim
berasal dari Kerajaan Sriwijaya.
Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi
1.200 tahun yang lalu sekitar kurun tahun 830 M. Berdasarkan penelitian DNA
mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30
perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1.200 tahun yang lalu.
Bahasa
Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Hal ini sebagai petunjuk bahwa
penduduk Madagaskar dihuni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya.
Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya
mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan
Samudera Hindia.
4. Hubungan dengan Wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara
Sriwijaya dan Dinasti Sailendra dimulai
karena adanya nama Śailendravamśa
pada beberapa prasasti di antaranya
pada Prasasti Kalasan di Pulau Jawa,
Prasasti Ligor di selatan Thailand, dan
Prasasti Nalanda di India.
Sementara pada Prasasti Sojomerto
dijumpai nama Dapunta Selendra.
Karena Prasasti Sojomerto ditulis
dalam bahasa Melayu dan bahasa
Melayu umumnya digunakan pada prasastiprasasti di Sumatra.
Wangsa Sailendra
diduga berasal dari Sumatra, walaupun asal-usul bahasa Melayu ini masih
menunggu penelitian sampai sekarang. Majumdar berpendapat Dinasti Sailendra
ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal
dari Kalinga di selatan India.
Kemudian, Moens menambahkan kedatangan
Dapunta Hyang ke Palembang menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini
pindah ke Jawa.
Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal
dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan
beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya Prasasti
Sojomerto.
5. Hubungan dengan Kekuatan Regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara,
Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China. Sriwijaya secara
teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman
mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari
berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu yakni
Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di Provinsi Surat Thani, Thailand Selatan,
sebagai ibu kota kerajaan tersebut.
Pengaruh Sriwijaya tampak pada bangunan Pagoda Borom That yang bergaya
Sriwijaya.
Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota, yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan
Khirirat Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di
Sumatra meluaskan wilayah dengan perpindahan
Wangsa Sailendra ke Jawa.
Pada kurun waktu
tertentu, Wangsa Sailendra sebagai anggota mandala
Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka,
Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya
dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatra dan Jawa.
Akan tetapi, akibat pertikaian suksesi singgasana
Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan
Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan
antara Sriwijaya dan Medang memburuk.
Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya
berkuasa di Sriwijaya.
Permusuhan ini diwariskan
hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam Prasasti
Nalanda yang bertarikh 860, Balaputradewa menegaskan asal-usulnya sebagai
keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu, Raja Sriwijaya.
Dengan kata lain, ia mengadukan kepada Raja Dewapaladewa, Raja Pala di
India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.
Persaingan
antara Sriwijaya di Sumatra dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika Raja
Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang
kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja
Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan Kerajaan Pala di Benggala, pada
Prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa Raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah vihara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola
di selatan India juga cukup baik.
Dari Prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya
di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang
dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma. Rajendra Chola I naik tahta yang
melakukan penyerangan pada abad ke-11.
Kemudian, hubungan ini kembali
membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram
mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan
cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut.
Namun demikian,
pada masa ini, Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari Dinasti Chola. Kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja
San-fo-ts’i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa
Dinasti Song, candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa
Dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
6. Masa Keemasan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan
maritim. Sriwijaya mengandalkan hegemoni pada
kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur
pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan
mem-bangun beberapa kawasan strategis sebagai
pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi
kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk
menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada
abad ke-9, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi pada
hampir semua kerajaan di Asia Tenggara, antara
lain wilayah Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya,
Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina.
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda,
menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang
mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang
lewat.
Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari
jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang
melayani pasar Tiongkok dan India.
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim
di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10.
Tetapi, pada akhir abad ini, Kerajaan
Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai
menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut
Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan
Medang di Jawa dengan nama Cho-po.
Dikisahkan bahwa, Sanfo-tsi dan Chopo terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling
mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988
tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang karena negerinya diserang
oleh balatentara Jawa.
Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun
990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa.
Pada musim semi tahun 992, duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang, namun
kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman.
Ia meminta Kaisar
Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga
tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991.
Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk
sementara waktu. Namun, kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur
oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan
adanya serangan Jawa terhadap Sumatra.
Rangkaian serangan dari Jawa ini pada
akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatra.
Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan
dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di
kawasan Selat Malaka.
Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil
lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan
dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa.
Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan
berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya,
memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati kaisarnya.
Pada
tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di
negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk
mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar
hati dengan persembahan itu menamai candi itu Cheng Tien Wan Shoudan dan
menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.
Candi Bungsu, salah
satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus.
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya
ancaman Jawa. Maka, Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan
berusaha menghancurkan Kerajaan Medang.
Sriwijaya disebut-sebut berperan
dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan,
disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana
Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan
raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan
terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Posting Komentar untuk "Sejarah Penyiaran Agama Buddha Zaman Kerajaan Sriwijaya"