Organisasi merupakan artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan
suatu kesatuan yang fungsional. Sedangkan apabila bagian-bagian yang
fungsional itu ada yang mengalami kerusakan maka akan menyebabkan
terjadinya ketidakseimbangan atau gangguan dalam fungsi organisasi itu.
Tubuh manusia misalnya, terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing
fungsi seluruh tubuh manusia sebagai suatu kesatuan.
Sementara apabila
seseorang sedang sakit (karena ada beberapa bagian tubuhnya yang rusak
atau mengalami gangguan), maka dikatakan bahwa ada salah satu atau
beberapa bagian tubuhnya yang tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
Dengan demikian, secara keseluruhan bahwa bagian-bagian
tubuh manusia itu merupakan keseimbangan yang fungsional.
Demikian juga kehidupan dalam sebuah kota misalnya, merupakan
suatu organisasi tersendiri. Jadi apabila ada salah satu bagian kota saja
yang rusak (tidak berfungsi), maka timbullah ketidak-seimbangan dalam
kehidupan kota tadi.
Terjadinya ketidak-seimbangan tadi dalam sosiologi
dinamakan disorganisasi (disintegrasi) sosial. Lalu apakah yang dimaksud
dengan disorganisasi (disintegrasi) itu? Disorganisasi adalah suatu keadaan
di mana tidak ada suatu keserasian pada bagian-bagian dari suatu kebulatan.
Misalnya dalam masyarakat, agar dapat berfungsi sebagai
organisasi, maka harus ada keserasian antara bagian-bagiannya seperti
lembaga kemasyarakatan, norma-norma, nilai-nilai, dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan perubahan sosial, suatu disorganisasi atau
disintegrasi mungkin dapat dirumuskan sebagai suatu proses berpudarnya
norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat, hal mana disebabkan
karena perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan.
Sedangkan reorganisasi atau reintegrasi adalah suatu
proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru untuk
menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah
mengalami perubahan.
Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai
yang baru telah institutionalized (melembaga) dalam diri warga-warga
masyarakat. Sedangkan berhasil tidaknya suatu proses "institutionalization"
tersebut dalam masyarakat, mengikuti formula sebagai berikut:
Yang dimaksudkan dengan efektivitas menanam adalah hasil yang
positif dari penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode
untuk menanamkan lembaga baru di dalam masyarakat.
Semakin besar
kemampuan tenaga manusia, makin ampuh alat-alat yang dipergunakan,
makin rapi dan teratur organisasinya, dan makin sesuai sistem penanaman
itu dengan kebudayaan masyarakat, maka makin besar pula hasil yang
dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru itu.
Akan tetapi, setiap usaha untuk menanam sesuatu unsur yang baru,
pasti akan mengalami reaksi dari beberapa golongan dari masyarakat yang
merasa dirugikan. Namun biasanya, kekuatan menentang dari
masyarakat itu mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemungkinan
berhasilnya proses "institutionalization" (pelembagaan) tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto (1982 : 347) gambaran mengenai
disorganisasi dan reorganisasi dalam masyarakat tersebut pernah
dilukiskan oleh William I Thomas dan Florian Znaniecki dalam karya
klasiknya yang berjudul The Polish Peasant in Europe and America,
khususnya dalam On disorganization and reorganization, di mana mereka
membentangkan pengaruh dari suatu masyarakat yang tradisional dan
masyarakat yang modern terhadap jiwa para anggotanya.
Watak atau
jiwa seseorang, sedikit banyaknya merupakan pencerminan dari kebudayaan masyarakat. Pada masyarakat-masyarakat tradisional
misalnya, maka aktivitas-aktivitas seseorang sepenuhnya berada di bawah
kepentingan masyarakatnya.
Di situ segala sesuatunya didasarkan pada
tradisi, dan setiap usaha-usaha untuk merubah satu unsur saja maka berarti
pula usaha-usaha untuk merubah struktur masyarakat secara keseluruhan.
Dalam masyarakat tradisional, struktur masyarakat tersebut dianggap
sesuatu yang suci, yakni sesuatu yang tak dapat diubah-ubah secara
menyolok, atau suatu struktur yang berjalan dengan lambat sekali
(perubahannya lambat sekali).
Jika terjadi perubahan dari suatu
masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern, maka
mengakibatkan pula terjadinya perubahan dalam jiwa setiap anggota
masyarakat tersebut.
Thomas dan Znaniecki sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto (1982
: 348) menggambarkan betapa para petani Polandia yang pindah dari
Eropa ke Amerika, mengalami disorganisasi.
Hal ini disebabkan karena di
tempat asalnya, mereka merupakan bagian dari masyarakat yang
tradisional dan di Amerika mereka berhadapan dengan masyarakat
modern, yang memiliki pola kehidupan yang berbeda.
Dengan demikian
maka timbullah disorganisasi di dalam kalangan masyarakat tradisional
itu. Karena di dalam keluarga batih misalnya, yang semula kuat ikatannya,
di mana orang tua di Eropa memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap
anak-anaknya, akan tetapi di Amerika kekuasaan tersebut menjadi pudar
dan melemah.
Selanjutnya ketika terjadi reorganisasi, maka timbullah pula
norma-narma baru yang mengatur hubungan baru antara orang tua dan
anak-anaknya.
Sementara itu, apabila disorganisasi tersebut terjadi dengan sangat
cepatnya, misalnya saja karena meletusnya revolusi, maka kemungkinan
besar akan timbul pula hal-hal yang sukar untuk dikendalikan.
Namun
sebaliknya, dalam keadaan yang semacam itu maka reorganisasi tidak
dapat terjadi dengan cepat, oleh karena dalam proses yang semacam itu
maka terlebih dahulu harus menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Pada
situasi yang demikian kemungkinan akan terjadi pula suatu keadaan di
mana norma-norma yang lama sudah hilang oleh karena disorganisasi
tadi, sedangkan norma-norma yang baru belum terbentuk. Jika keadaan
semacam itu benar-benar terjadi maka dikatakan telah terjadi krisis dalam
masyarakat atau telah terjadi keadaan anomie.
Keadaan anomie, yaitu
suatu keadaan di mana tidak ada pegangan terhadap apa yang baik dan
apa yang buruk, sehingga anggota masyarakat tidak mampu lagi untuk
mengukur tindakannya, oleh karena batas-batasnya sudah tidak ada lagi.
Selain itu, suatu keadaan anomie mungkin pula dapat terjadi pada
saat disorganisasi meningkat ke tahap reorganisasi. Contohnya adalah
norma-norma dalam berlalu lintas, terutama di kota-kota besar
sebagaimana Jakarta atau Surabaya.
Sopan santun berlalu lintas yang
secara minimal menyangkut ketaatan seseorang pengemudi atau orang
yang jalan kaki, namun pada peraturan-peraturan lalu lintas itu sering
dilanggar.
Pada umumnya, ada suatu kecendeungan bahwa peraturanperaturan tersebut dilangggar, padahal peraturan itu bertujuan untuk
menjaga keselamatan masyarakat, termasuk para pengemudi dan orangorang yang berjalan kaki.
Hal semacam itu sedikit banyaknya dapat
dijadikan suatu indeks terhadap keadaan sampai di mana disorganisasi
itu masih berlangsung dan apakah telah ada suatu reorganisasi.
Posting Komentar untuk "Dampak Perubahan Sosial Berkaitan dengan Disorganisasi dan Reorganisasi "