Perkembangan Seni Lukis Indonesia Baru
Segala sesuatu yang berhubungan dengan modern selalu diasosiasikan dengan Barat (Eropa atau Amerika). Oleh karena itu, sebutan seni rupa Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari tradisi berkesenian di Eropa. Persentuhan seni Indonesia dengan seni modern telah berjalan lama dan mendalam sehingga secara langsung atau tidak langsung telah menimbulkan hubungan atau kontak budaya. Salah satu bentuk hubungan atau kontak budaya ini berlangsung melalui kolonialisasi (penjajahan).
Seni rupa modern di Eropa diproklamirkan sejak munculnya aliran post impresionisme (awal abad ke-18). Saat itu ruang kebebasan untuk mencipta karya seni terbuka lebar yang diawali dengan tumbuhnya sikap individualistis dalam berkarya. Sikap individualistis semakin kokoh dengan makin maraknya eksperimen-eksperimen kaum seniman, baik dari masalah bahan, teknik, maupun pengungkapan (ekspresi) berkesenian mereka.
Persentuhan seni kolektif Indonesia dan seni modern Eropa berjalan melalui pelukis-pelukis Eropa yang datang ke Indonesia. Persentuhan itu secara perlahan namun pasti telah menggugah individu-individu tertentu untuk membuka lembaran baru dalam berkesenian, yakni seni rupa baru. Pada zaman seni rupa Indonesia baru ini, terjadi beberapa perkembangan seperti berikut.
1) Masa Raden Saleh (Perintisan)
Pada pertengahan abad ke-19, dunia seni lukis atau seni gambar senimanseniman Indonesia masih mengacu pada gaya tradisional yang berkembang di daerah-daerah. Sebagian besar karya seni tersebut menyimpan potensi dekoratif. Misalnya, lukisan di Bali dan Jawa serta ornamen di Toraja dan Kalimantan.
Sebagian ahli memandang Raden Saleh Syarif Bustaman (1807–1880) sebagai perintis seni lukis modern Indonesia. Ungkapan ini tidak berlebihan mengingat Raden Saleh merupakan orang Indonesia pertama yang mendapat bimbingan melukis secara khusus dari pelukis-pelukis bergaya naturalis dan realis keturunan Belgia yang pernah tinggal di Indonesia, yakni A.A.J. Payen. Atas rekomendasi Payen dan didukung oleh C.
Reinwart, Raden Saleh berkesempatan belajar ke Eropa. Pada masa itu, belajar ke Eropa masih tergolong langka bagi kebanyakan penduduk Indonesia. Namun, karena Raden Saleh dipandang mempunyai bakat besar dan masih keturunan bangsawan maka keberangkatannya ke Eropa tak ada yang bisa menghalangi. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang belajar seni rupa ke luar negeri. Di Eropa, Raden Saleh mendapat bimbingan dari pelukis potret terkemuka, Cornellius Krusemen dan pelukis pemandangan alam, Andreas ScheĢout.
Raden Saleh sempat belajar di beberapa negara lainnya seperti Jerman. Di sana, ia bertemu dengan pelukis-pelukis potret lainnya. Ia juga sempat berkunjung ke Aljazair untuk mengadakan studi banding dan bertemu serta menjalin persahabatan dengan pelukis setempat, Horace Vernet. Setelah itu, ia berkunjung ke Prancis. Saat itu, di Prancis sedang berkembang aliran Romantisme.
Lebih dari dua puluh tahun lamanya Raden Saleh berada di Eropa. Pada 1851 ia menyempatkan pulang ke Indonesia karena ia merasa rindu pada kampung halamannya. Tak berapa lama kemudian ia kembali lagi ke Eropa, dan pada 1879 ia menetapkan untuk pulang ke Indonesia dan selanjutnya bermukim di Bogor. Setahun kemudian, tepatnya 23 April 1880, beliau wafat di Bondongan, Bogor.
Mencermati perjalanan hidupnya, dapat dikatakan bahwa Raden Saleh lebih lama tinggal di Eropa daripada di Indonesia. Karena itu wajar jika karya lukisnya hingga kini lebih banyak tersimpan di Eropa. Sekalipun demikian, emosinya yang romantis tentang Indonesia tidak pupus oleh kehidupan Eropa. Ia tetap menghasilkan karya-karya yang menunjukkan sikap nasionalisme karena saat itu Indonesia dalam masa penjajahan.
Para ahli seni rupa memandang karya Raden Saleh secara tersirat memuat pesan kebangsaan yang tersembunyi seperti tampak dalam karyanya yang bertajuk Antara Hidup dan Mati. Karya ini memperlihatkan pertarungan antara seekor Banteng (simbol keperkasaan dan kekuatan bangsa Indonesia) dan dua ekor Singa (simbol kerakusan dan ketamakan penjajah). Demikian pula lukisan Penangkapan Diponegoro.
Karya monumental Raden Saleh yang tercatat antara lain Perkelahian dengan Binatang Buas, Hutan Terbakar, Banjir, Harimau dan Mangsanya, dan Merapi yang Meletus. Adapun lukisan potret yang pernah dibuatnya antara lain potret Sultan Hamengkubuwono VIII, potret seorang tua menghadap buku dan globe, potret putri-putri de Jonge, potret Hentzepeter, potret R. P. Bonington, dan potret Keluarga Raden Saleh. Hal tersebut merupakan sebuah contoh dari usaha pemerintah kolonial Belanda untuk mengasimilasikan masyarakat Jawa dengan budaya Eropa.
2) Masa Indonesia Jelita (Mooi Indie)
Seni rupa Indonesia sejak meninggalnya Raden Saleh sempat mengalami masa kekosongan. Kehidupan penjajahan dan feodalisme yang sudah mengakar tidak memungkinkan Raden Saleh melakukan pengkaderan seni lukis. Pada awal abad ke-20, munculnya Abdullah Suryosubroto yang juga keturunan bangsawan Solo, bukan untuk melanjutkan gaya melukis Raden Saleh. Pada awalnya, Abdullah ke Eropa bermaksud mempelajari ilmu kedokteran. Namun, niat itu berubah karena ketertarikannya terhadap dunia seni lukis yang kemudian mengantarkannya menjadi mahasiswa pada salah satu akademi kesenian di Eropa.
Sepulang dari Eropa, Abdullah S.R. (1878–1941) bermukim di Bandung dan kemudian mengembangkan gaya melukis sendiri, yang kemudian dikenal dengan sebutan Indonesia Jelita (Mooi Indie). Gaya ini menekankan pada keelokan dan suasana kehidupan bangsa Indonesia dengan alamnya yang subur dan masyarakatnya yang tentram. Pemandangan alam merupakan objek lukisan yang sangat dominan. Apa saja yang indah dan romantis terlihat menyenangkan, tenang, dan damai. Lukisan-lukisan itu hanya membawa satu makna, yaitu ‘Indies yang molek’ bagi orang asing dan para wisatawan.
Gunung, pohon kelapa, dan sawah adalah objek-objek yang dituangkan dalam karya seni oleh para seniman. Demikian juga lukisan wanita-wanitanya yang elok nan cantik. Pelukis pribumi lainnya yang gemar dengan gaya ini adalah Wakidi, M. Pirngadie, Basuki Abdullah, dan Wahdi.
Sebenarnya sebelum gaya ini dikembangkan Abdullah S.R, telah hadir pelukispelukis asing yang sengaja diundang oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk bekerja sebagai pelukis pesanan. Pelukis-pelukis tersebut antara lain W. G. HoĤer (Belanda), R. Locatelli (Italia), Le Mayeur (Belanda), Roland Strasser (Swiss), E. Dezentje (Belanda), dan Rudolf Bonnet (Belanda).
3) Masa Cita Nasional
Gaya melukis Mooi Indie tidak terlepas dari kaca mata orang Barat yang memandang bahwa alam Indonesia adalah surga. Padahal pada kenyataannya kehidupan rakyat Indonesia itu penuh dengan kemelut, kemelaratan, tekanan, dan berbagai penderitaan hidup lainnya. Kondisi inilah yang memunculkan kelompok pelukis yang memiliki empati tinggi terhadap kemelaratan rakyat jelata sebagai penolakan dari gerakan sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat kebanyakan pelukis yang bergabung dengan kelompok ini berasal dari kalangan rakyat sehingga mereka merasakan penderitaan dan kepahitan hidup rakyat terjajah.
S. Sudjojono (1913–1986) sebagai penggerak kelompok ini sama sekali tidak pernah belajar seni rupa ke Eropa. Pelukis-pelukis yang tergabung ke dalam kelompok ini antara lain Agus Djaya Suminta, L. Sutioso, Rameli, Abdul Salam, OĴo Jaya, S. Sudiarjo, Emiria Sunassa, Saptarita Latif, Herbert Hutagalung, S. Tutur, Hendro Jasmara, dan Sutioso.
Untuk memperkokoh gerakan dan menyamakan persepsi, kelompok ini kemudian membentuk Perkumpulan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) pada 1938 di Jakarta. Karena tujuan utamanya adalah menggalang solidaritas nasional antarseniman lokal dalam mengembangkan seni lukis yang bercorak Indonesia asli, mereka senantiasa membuat sketsa-sketsa tentang corak kehidupan masyarakat saat itu di berbagai tempat.
Di masa ini, S. Sudjojono berhasil menciptakan karya monumental, seperti Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Gomeh, Jongkatan, Mainan Anak-Anak Sunter, Sayang Saya Bukan Anjing, serta Nyekar dan Bunga Kamboja. Agus Djaya Suminta menghasilkan karya Bharata Yudha, Arjuna Wiwaha, Dalam Taman Nirwana dan Suara Suling di Malam Hari. Sementara itu, OĴo Jaya melahirkan karya Penggodaan dan Wanita Impian.
4) Masa Pendudukan Jepang
Masa imperialisme di Indonesia belum berakhir meskipun Belanda harus angkat kaki dari bumi Indonesia. Hal itu karena Indonesia mengalami penjajahan Jepang (1942–1945). Pada zaman pendudukan Jepang, tepatnya pada 1942, PERSAGI dipaksa bubar. Seniman yang lahir dari kalangan grass root (akar rumput), yakni masyarakat bawah, jumlahnya semakin banyak. Sementara itu, tentara pendudukan Jepang yang berkuasa saat itu sangat jeli melihat perkembangan kesenian Indonesia. Pada 1945, mereka mendirikan sebuah lembaga dengan nama Jepang Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan) yang pengajarnya merupakan mantan anggota PERSAGI seperti Agus Djaya Suminta dan S. Sudjojono. Mereka yang menyediakan sarana untuk kegiatan berkesenian.
Pada masa ini, sekalipun kehidupan perekonomian masyarakat Indonesia serba kekurangan, namun kehidupan berkesenian tampak berkobar-kobar. Para pelukis pun mendapat angin segar dari tentara pendudukan Jepang. Angin segar ini dimanfaatkan oleh para pelukis Indonesia untuk melakukan pameran. Tujuannya di samping memamerkan karya-karya pelukis lokal, juga sebagai ajang penyebaran rasa kebangsaan kepada masyarakat luas. Pelukis yang turut serta memamerkan karya lukisnya ialah Basuki Abdullah, Affandi, Kartono Yudhokusumo, Nyoman Ngedon, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, dan OĴo Jaya.
Di sisi lain, perubahan sosial politik terus bergulir dan semakin mempertebal jiwa nasionalisme rakyat. Sebagai wadah tempat penampungan aspirasi rakyat, dibentuklah lembaga yang berupaya mempersiapkan segala sesuatu hal yang mungkin terjadi. Lembaga itu didirikan oleh Ir. Soekarno, K.H. Manshur, dan Ki Hajar Dewantara dengan nama Poesat Tenaga Rakjat atau POETRA.
Salah satu bidang yang dikelola lembaga ini adalah seni lukis. Dengan demikian, seni lukis pun memiliki peran aktif dalam menyebarkan jiwa nasionalisme. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa seni lukis memiliki andil besar dalam mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pelukis yang pernah aktif dalam lembaga POETRA adalah para pelukis dari berbagai aliran seperti S. Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, Barli Sasmita dan Wahdi.
5) Masa Sesudah Kemerdekaan
Keadaan negara setelah proklamasi kemerdekaan 1945 tidak menghentikan aktivitas kesenian. Saat itu seni lukis dijadikan media untuk berjuang. Perkembangan seni lukis di Indonesia menunjukkan kemajuan yang pesat karena seni lukis telah menyatu dengan semangat perjuangan kemerdekaan bangsa. Jiwa kepahlawanan ini dibuktikan dalam bentuk poster-poster perjuangan dan lukisan sketsa di tengahtengah pertempuran. Salah seorang pelukis yang pernah melakukan hal itu ialah Djajengasmoro bersama kelompok Pelukis Front-nya.
Pindahnya pusat pemerintahan ke Yogyakarta pada 1946 diikuti dengan hijrahnya para pelukis. Kota Yogyakarta pun menjadi pusat para pelukis. Pada 1946 di Yogyakarta, Affandi, Rusli, Hendra Gunawan, dan Harijadi membentuk perkumpulan Seni Rupa Masyarakat. Setahun kemudian, yaitu pada 1947 mereka bergabung dengan perkumpulan Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dibentuk pada 1946 di Madiun dengan pelopor Sudjojono.
Pusat kegiatan SIM berpindah dari Madiun ke Surakarta dan kemudian berpindah lagi ke Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang masih sering bergolak. Di Yogyakarta, anggota SIM menerbitkan majalah bernama Seniman. Melalui majalah, disebarkan berbagai ajakan kepada para seniman berbakat agar bergabung sehingga anggotanya terus bertambah. Beberapa orang yang bergabung di antaranya Suromo, Surono, Abdul Salam, Sudibyo, dan Trisno Sumarjo. Namun, pertentangan internal di antara pengurus membuat Affandi dan Hendra Gunawan keluar dari SIM. Kemudian, mereka membentuk kelompok Peloekis Rakjat yang di dalamnya terdapat Soedarso, Kusnadi, Sasongko, Dullah, Trubus, Sumitro, Sudoardjo, dan Setijoso.
6) Masa Pendidikan Formal
Pada 1949, R. J. Katamsi dengan beberapa seniman anggota SIM, Pelukis Rakjat, POETRA, dan Budayan Taman Siswa merintis akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang kini berubah menjadi ISI. Tujuan didirikannya akademi ini adalah untuk mencetak calon-calon seniman. Para tokoh ASRI antara lain S. Soedjojono, Hendra Gunawan, Djajengasmoro, Kusnadi, dan Sindusiswono.
Sementara itu, di Bandung pada 1950-an berdiri pula Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar yang dipelopori oleh Syafe’i Soemardja. Ia dibantu oleh Mochtar Apin, Ahmad Sadali, Sudjoko, dan Edi Karta Subarna. Sejak 1959, lembaga ini berubah nama menjadi jurusan Seni Rupa pada Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada 1964, berdiri pula jurusan Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung (saat ini bernama Universitas Pendidikan Indonesia) yang dipelopori oleh Barli, Karmas, Popo Iskandar, Radiosuto, dan Wiyoso Yudoseputo. Sebagian alumni Jurusan Seni Rupa IKIP Bandung yang menekuni seni lukis adalah seniman Oho Garha, Nana Banna, Hidayat, Dadang MA, dan Hardiman. Beberapa tahun kemudian dibuka jurusan seni rupa di IKIP lainnya di seluruh Indonesia.
7) Masa Seni Lukis Baru di Indonesia
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan masyarakat yang mulai maju, sekitar 1974 lahirlah kelompok seniman muda di berbagai daerah. Para seniman muda yang tergabung dalam gerakan ini antara lain Jim Supangkat, S. Prinka, Satyagraha, F. X. Harsono, Dede Eri Supria, dan Munni Ardi. Mereka menampilkan corak baru dalam penggarapan karyanya. Pameran perdana karya mereka yang diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta banyak mengundang perhatian masyarakat. Karya-karya para seniman muda yang kebanyakan masih kuliah itu didasari oleh alasan-alasan sebagai berikut.
- Membongkar peristilahan seniman sebagai atribut yang hanya dilekatkan pada kalangan akademis saja, sementara masyarakat kecil yang bergiat dalam kesenian tidak mendapat tempat yang semestinya.
- Menggugat batasan-batasan seni yang sudah lama dipancangkan oleh seniman tua. Ini berarti menghindari adanya pembingkaian seni dalam satu kaca mata.
- Berusaha menciptakan sesuatu yang baru dengan berbagai media, konsep berkarya, dan lain-lain. Penciptaan karya seni tersebut tidak terkecuali seni yang diterapkan pada hal yang dipandang sakral.
Posting Komentar untuk "Perkembangan Seni Lukis Indonesia Baru"