Peran-peran Perempuan dalam Masyarakat
Pada umumnya masyarakat di Indonesia, pembagian kerja antara lelaki dan
perempuan menggambarkan peran perempuan. Basis awal dari pembagian kerja
menurut jenis kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan kebedaan peran lelaki
dan perempuan dalam fungsi reproduksi. Dalam masyarakat mempresentasikan peran
yang ditampilkan oleh seorang perempuan. Analisis peran perempuan dapat
dilakukan dari perspektif posisi mereka dalam berurusan dengan pekerjaan produktif
tidak langsung (domestik) dan pekerjaan produktif langsung (publik), yaitu sebagai
berikut :
- Peran Tradisi menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi (mengurus rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta mengayomi suami). Hidupnya 100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan lelaki di luar rumah.
- Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran yang lain. Pembagian tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensi mempertahankan keharmonisan dan urusan rumahtangga tetap tanggungjawab perempuan
- Dwiperan memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan peran domestik dan publik dalam posisi sama penting. Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau sebaliknya keengganan suami akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik terbuka atau terpendam
- Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan pemilahan dan pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi adalah masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana kehidupan berkeluarga.
- Peran kontemporer adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian. Jumlahnya belum banyak. Akan tetapi benturan demi benturan dari dominasi lelaki atas perempuan yang belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan mungkin akan meningkatkan populasinya
Dalam perkembangan kajian peran perempuan, konsep peran seks (sex roles) memberi
makna tersendiri. Peran seks adalah seperangkat atribut dan ekspektasi yang
diasosiasikan dengan perbedaan gender, dengan hal ihwal menjadi laki-laki atau
perempuan dalam masyarakat. Menurut teori fungsionalisme (functionalism), peran
seks (seperti peran yang lain) merefleksikan norma-norma sosial yang bertahan dan
merupakan pola-pola sosialisasi (socialization). Norma yang cenderung terjadi
dewasa ini adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan telah berubah seiring
dengan perkembangan secara bertahap perihal keluarga yang berkesetaraan.
Setiap manusia termasuk perempuan berangkat dan besar dari bekal yang diberikan
masyarakat, bekal berupa budaya, norma, nilai, hukum dan lain-lain yang disepakati
oleh masyarakat. Bila perkembangan berikutnya memperlihatkan ketidaksamaan
perempuan berperan dalam masyarakat, hal tersebut dapat berangkat dari pertanyaan
”Dan bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan ?” jawaban untuk
pertanyaan ini menghasilkan kesimpulan umum bahwa ketidakterlihatan,
kesenjangan, dan perbedaan peran dalam hubungannya dengan lelaki, yang umumnya
mencirikan kehidupan perempuan, sangat dipengaruhi oleh lokasi sosial perempuan,
yaitu, oleh kelasnya, ras, usianya, preferensi afeksionalnya, status marital, agama,
etnisitas, dan lokasi globalnya.
Peran Egalitarian Perempuan
Elan vital gerakan perempuan dalam menjalankan perannya di tengah masyarakat,
sebagai contoh dalam perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan bisa dilihat pada
sosok Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, atau Martha Kristina Tiahahu, dan dalam mengisi
awal-awal kemerdekaan melalui pendidikan bagi perempuan bisa dilihat pada sosok
Nyai Ahmad Dahlan atau Rasuna Said.
Perjuangan Tjut Nyak Dien sendiri menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing,
sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang perempuan ini. Zentgraaf
mengatakan, para perempuanlah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin
perlawanan terhadap Belanda. Aceh mengenal Grandes Dames (perempuanperempuan besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor
Ada sebuah sejarah yang mungkin luput dari cermatan banyak orang saat ini, Kartini
pahlawan perempuan di Indonesia melakukan negosiasi politik feminitas dalam salah
satu cara perjuangannya. Dalam kultur tradisional, memasak, dikawinkan, dan dipingit
adalah kegiatan yang melekat pada diri perempuan. Diungkapkan oleh Chuzaifah,
Yuniyanti (Gatra, April 2010: 13), bahwa Kartini menggunakan peran domestik
sebagai strategi accommodating protest, memasak dalam konteks Kartini bisa
ditafsirkan sebagai upaya menyejajarkan egalitarianisme pribumi dengan kolonial
melalui ranah domestik tradisi perempuan. Kecanggihan Kartini memasak aneka
masakan lokal dan Eropa membuatnya dianggap berbudaya, beradab, dan pada saat
yang sama masih memelihara kelaziman sebagai ide-ide progresifnya.
Perjuangan para perempuan tersebut tidak bisa dilupakan oleh pemerintah Indonesia.
Namun bukan hal yang mudah bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan bagi
peningkatan peran perempuan dalam pembangunan. Dapat dicontohkan dari sisi
internal persoalan perempuan, dalam diri perempuan sendiri, konsep identitas
menyebut perempuan atau wanita mengalami proses pemikiran dan perdebatan selalu
muncul dalam diskusi atau pertemuan antar perempuan.
Perubahan penggunaan istilah wanita menjadi perempuan yang terjadi di awal
reformasi merupakan fenomena menarik. Ada sebagian kalangan yang menafsirkan
perubahan penggunaan kata wanita ke perempuan merupakan simbolisasi perlawanan
terhadap ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Dengan menggunakan
prespektif historis, para penganut pandangan ini melihat penggunaan istilah wanita
pada masa orde baru merupakan antitesis atas penggunaan istilah perempuan pada
masa Jepang yang memperlihatkan realita dimana kaum hawa mengalami penindasan
tak terperi. Adapun perubahan penggunaan kata perempuan di era reformasi
kemudian dipandang sebagai keberhasilan perjuangan mengungkap realita bahwa
masih banyak penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan tetap
belum merdeka meskipun Indonesia telah lepas dari penjajah.
Adapula yang menawarkan pendekatan etomologi untuk mengartikan penggunaan
kata perempuan di era reformasi. Kata wanita diartikan sebagai wani ditata artinya
berani ditata. Adapun kata wanita yang diyakini merupakan bahasa sansekerta, berasal dari kata dasar wan artinya nafsu, kata wanita diartikan “yang dinafsui atau
objek seks”. Sedangkan asal kata perempuan adalah empu yang bermakna dipertuan
atau dihormati. Perubahan penggunaan kata wanita menjadi perempuan dianggap
simbolisasi perempuan yang semula diposisikan sebagai objek menjadi subjek.(
Christina S.Handayani dan Novianto Ardhian dalam A.Adaby Darban.
Pemakaian kata wanita dan perempuan tersebut pada perkembangan berikutnya
menunjukkan tingkat perhatian pada kajian gender, ada anggapan bahwa dengan
berdasarkan kebijakan pemerintah yang mengubah kata Menteri Urusan Peranan
Wanita (UPW) menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan memperlihatkan bahwa
kata “Perempuan” lebih menunjukkan penghargaan dan kemajuan perspektif daripada
kata “wanita”.
Afirmatif peran perempuan
Di Indonesia, kepedulian terhadap eksistensi perempuan adalah dengan adanya
instruksi Presiden RI No.9 tahun 2000 tentang “Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional”. Sasaran strategi pengarusutamaan gender (PUG) adalah
upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, melalui kebijakan dan program
yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan
dan laki-laki ke dalam seluruh kebijakan di berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan.
Penguatan dari pemerintah tersebut dapat dikatakan memberi warna terang tentang
keharusan para stakeholder untuk tidak menyampingkan posisi perempuan dalam
setiap kegiatan pembangunan. Dan tugas utama penggiat peningkatan kesetaraan
perempuan adalah mempelajari lalu memperbaiki cara berpikir perempuan itu sendiri
agar mau berubah. Hal ini berkaitan dengan Sosiolog feminis yang menyatakan
bahwa perempuan merasakan diri mereka demikian dibatasi oleh status mereka
sebagai perempuan sehingga gagasan yang mereka bangun untuk kehidupan mereka
nyaris menjadi teori tanpa makna. Perempuan berpengalaman merencanakan dan
bertindak dalam rangka mengurus berbagai kepentingan, kepentingan mereka sendiri
dan kepentingan orang lain; bertindak atas dasar kerjasama, bukan karena keunggulan
sendiri; dan mungkin mengevaluasi pengalaman dari peran penyeimbang mereka
bukan sebagai peran yang penuh konflik, tetapi sebagai respon yang lebih tepat
terhadap kehidupan sosial ketimbang kompertementalisasi peran.
Pemahaman pentingnya peran perempuan diperkuat dengan kenyataan bahwa afirmasi
berupa instruksi Presiden tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional, cenderung diterima dengan dilema oleh penggiat kesetaraan gender, satu
pihak peran perempuan perlu diperhatikan dan diperkuat oleh pemerintah, di satu
pihak pemerintah seakan memberi perhatian tanpa mengetahui kebutuhan perempuan
secara sosial budaya. Bila penggiat kesetaraan gender masih dilema dengan afirmasi
dari pemerintah, bagaimana dengan perempuan awam pengetahuan lainnya, tetesan kebijakan pemerintah untuk peningkatan peran perempuan di tengah masyarakat
belum merata.
Di tengah perkembangan zaman yang terus berubah, peran perempuan mungkin tidak
banyak berubah terutama peran domestiknya, mungkin yang terlihat pada
pelaksanaanya, mendapat kesempatan dan bantuan atau tidak dari orang-orang
terdekatnya dan dukungan dari masyarakat. Berikut gambaran peran perempuan
mendatang menurut Aida Vitalaya.
- keajegan penajaman peran laki-laki dan perempuan memudar dan tidak jelas lagi pembedanya dengan indikator penentu adalah potensi dan kemampuan individual,
- perempuan pekerja akan meningkat, sebaliknya jumlah lelaki menganggur juga meningkat, dan
- mobilitas sosial dan geografis lokasi kerja memisahkan tempat tinggal suami-istri, dan anak.
Secara umum, seseorang jarang menduduki satu peran saja dalam aktifitasnya, dengan
memikul dua atau lebih banyak lagi peran yang dilakoni akan membuat banyak beban
yang harus dijalani, sehingga terkadang menimbulkan kontradiksi antar peran
tersebut. Demikian halnya dengan seorang perempuan, akan menghadapi harapan dan
permintaan yang bertentangan berkaitan dengan perannya sebagai anak, istri, ibu, dan
pekerjaannya dalam masyarakat
Posting Komentar untuk "Peran-peran Perempuan dalam Masyarakat"