Multikultur : Belajar dari Yesus
Yesus menjadikan multikultur sebagai wacana perjumpaan antarmanusia
yang dapat bergaul dan bekerja sama dalam kasih. Mengenai sikap Yesus, kita
dapat mencatat beberapa pokok pikiran dari Hope S. Antone dalam kaitannya
dengan multikulturalisme, antara lain :
Kesetiaan Yesus ditujukan kepada Allah bukan kepada lembaga maupun
praktik agama yang sudah turun temurun dilaksanakan. Konsekuensi dari
sikap itu adalah Ia mengasihi manusia tanpa kecuali. Kemanusiaan, keadilan,
dan perdamaian amat penting bagi-Nya. Itulah cara Yesus memperlihatkan
kesetiaan-Nya kepada Allah. Sikap ini menyebabkan Ia tidak disukai oleh kaum
Farisi dan ahli Taurat yang begitu setia kepada lembaga agamanya melebihi
Allah sendiri.
Mereka mempraktikkan tradisi dan hukum agama secara turunte murun. Namun lupa untuk mewujudkan hukum itu dalam kehidupan nyata
sebagai umat Allah. Kritik-kritik Yesus amat keras ditujukan pada mereka. Praktik agama dan ajarannya bukan hanya
dipelajari, dihafal, dan diwujudkan
dalam penyembahan, tetapi terutama
harus diwujudkan dalam kehidupan
dengan sesama. Itulah sebabnya
Kitab Amos (Amos 5) menulis
bahwa Allah menolak ibadah dan
persembahan Israel karena mereka
tidak mempraktikkan kebenaran dan
keadilan dalam hidupnya. Ibadah
formal, praktik agama itu penting
namun, harus berjalan bersama-sama
dengan sikap hidup. Ajaran agama
harus dipraktikkan dalam kehidupan
nyata.
Kasih dan solidaritas Yesus ditujukan
bagi semua orang tanpa kecuali, orang dari berbagai suku, tradisi, budaya
bahkan yang tidak mengenal Allah yang disembah-Nya pun ditolong olehNya. Itulah wujud kesetiaan Yesus pada Allah.
Yesus memperkenalkan visi baru mengenai komunitas baru di bawah pemerintahan Allah. Sebuah komunitas yang melampaui berbagai perbedaan latar
belakang. Sebuah komunitas yang memiliki hubungan-hubungan yang baru
dimana tidak ada laki-laki maupun perempuan, budak ataupun orang merdeka, orang Yahudi maupun Yunani semua orang sama di hadapan Allah, dan
memiliki tempat yang sangat penting dalam komunitas baru yang terbentuk
karena kedatangan Yesus.
Kita juga belajar dari Yesus bahwa walaupun identitas pribadi,
rasial, suku, kelas sosial maupun keagamaan merupakan kenyataan sosiologis. Namun, yang
lebih penting adalah bagaimana
dalam segala perbedaan yang
ada, umat manusia memuliakan
Allah dengan melakukan kehendak-Nya. Dalam sikap ini, untuk multikultur mungkin tidak
akan dipermasalahkan tetapi ketika prinsip ini dikaitkan dengan perbedaan iman (agama), apakah hal ini
dapat dibenarkan? Hal tersebut dibahas dalam pelajaran berikut mengenai
sikap terhadap orang yang berbeda iman. Namun demikian, dapat diklarifi -
kasi dalam penjelasan di sini bahwa dalam kaitannya dengan agama lain, kita
dapat mengembangkan toleransi dalam hal solidaritas dan kebersamaan tanpa kehilangan identitas sebagai umat kristiani. Artinya, orang beragama lain
pun dapat melakukan kehendak Allah menurut ajaran a gamanya, menolong
dan mengasihi sesama.
Melakukan kehendak Allah dapat
dilakukan dalam kemitraan dengan orang lain, baik itu sesama
orang Kristen maupun orang lain
yang berbeda suku, bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa, kebiasaan, status sosial, maupun
agama. Tidak ada seorang manusia pun yang mampu melakukan
berbagai hal sendirian. Dalam segala aspek kehidupan kita membutuhkan orang lain untuk saling
mengisi dan saling membantu.
Posting Komentar untuk "Multikultur : Belajar dari Yesus"