Menerapkan Kesadaran dan Praktik Hidup Multikultur
Tuhan menciptakan manusia dalam kepelbagaian supaya dapat saling mengisi dan melengkapi satu dengan yang lain. Dalam diri manusia juga dianugerahi
kebaikan dan kemampuan untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan hidup terutama dengan sesamanya. Manusia juga diciptakan sebagai makhluk mulia yang memiliki harkat dan martabat. Di era modern sekarang ini, masyarakat
dunia memiliki kesadaran multikultur yang jauh lebih baik, bahkan pemenuhan
hak setiap orang untuk diterima dan dihargai.
Hak untuk memperoleh keadilan,
demokrasi, dan HAM telah menjadi kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh negara terhadap warganya maupun oleh sesama warga negara termasuk warga gereja. Meskipun demikian, masih banyak terjadi pelanggaran terhadap pemenuhan hak pribadi maupun kelompok masyarakat minoritas. Misalnya di Indonesia
pada zaman orde baru tidak ada pengakuan terhadap agama Khonghucu, bahkan
masyarakat keturunan Tionghoa amat dibatasi hak-hak politiknya. Sejak zaman
reformasi, kaum minoritas mulai menikmati pemenuhan hak-haknya. Di bawah
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, negara mengakui agama Konghucu
dan hak-hak masyarakat keturunan Tionghoa dipulihkan.
Dalam kehidupan beragama, nampak ada keterbatasan bagi orang Kristen.
Contoh, untuk mendirikan gedung gereja umat Kristen menghadapi kendala
yang cukup besar. Sampai saat ini beberapa jemaat baik Katolik maupun Protestan
masih tetap berjuang untuk memperoleh haknya mendirikan gereja. Sebenarnya
hal ini tidak perlu terjadi karena UUD 1945 dan Pancasila memberi jaminan bagi
seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh hak-haknya termasuk hak untuk
beribadah dan memiliki rumah ibadahnya sendiri.
Dalam komunitas kristiani, gereja-gereja di Indonesia dibangun di atas
bangunan suku karena anggota gereja terdiri dari orang-orang yang berasal dari
berbagai suku, budaya, adat, dan kebiasaan serta geografi s yang berbeda-beda.
Bahkan setiap sinode gereja berada di geografi s tertentu dengan budaya dan
suku tertentu. Meskipun gereja-gereja nampak memiliki afi liasi dengan suku dan daerah tertentu namun tetap terbuka bagi orang-orang yang berasal dari daerah,
suku, dan budaya lainnya. Misalnya GKI yang dahulunya merupakan gereja
untuk orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa, pada masa kini yang menjadi
anggota GKI berasal dari berbagai suku, budaya, dan daerah. Demikian juga GPIB
yang didirikan untuk orang-orang dari Indonesia Timur pada masa kini terbuka
bagi orang-orang dari berbagai daerah, suku, dan budaya. Gereja Bethel Indonesia
(GBI) adalah gereja yang sangat terbuka terhadap multikultur, jemaatnya amat
beragam dari segi suku, kebangsaan, budaya, geografi , bahkan kelas sosial.
Dalam gereja yang multikultur, setiap orang dapat belajar membangun
persekutuan di atas berbagai perbedaan. Jemaat dapat belajar dari saudara
seiman yang berasal dari daerah, suku, dan budaya yang berbeda. Nilai-nilai
budaya dan suku yang positif dapat memperkaya liturgi dalam ibadah. Pola-pola
hubungan antarjemaat yang positif juga dapat diperkaya dari nilai-nilai budaya
yang beragam.
Ada beberapa nilai yang dapat diwujudkan dalam tindakan untuk memperkuat
persatuan sebagai bangsa Indonesia yang multikultur, sebagai berikut.
- Pengakuan masyarakat terhadap berbagai perbedaan dan kompleksitas kehidupan
- Perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas maupun minoritas.
- Kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik secara individu ataupun kelompok serta budaya.
- Penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan saling menghormati dalam perbedaan.
- Unsur kebersamaan, solidaritas, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan.
Beberapa poin di atas merupakan nilai-nilai yang dapat dibangun dalam
membina kehidupan bersama sebagai bangsa yang multikultur. Peran pendidikan
dan pola asuh dalam keluarga amat penting untuk menanamkan nilai-nilai
tersebut. Pada masa kini sudah banyak tokoh nasional dan pemerhati pendidikan
yang menganjurkan untuk memberlakukan pendidikan multikultural di sekolah
dan perguruan tinggi. Hal ini penting mengingat pendidikan merupakan salah satu
unsur yang dapat menjadi kekuatan mengubah dalam masyarakat. Pendidikan
menjadi pendorong perubahan yang efektif bagi individu dan masyarakat. Sikap yang harus dihindari dalam membangun masyarakat multikultural yang
rukun dan bersatu yaitu :
1. Primordialisme
Primordialisme artinya perasaan kesukuan yang berlebihan. Menganggap
suku bangsanya sendiri yang paling unggul, maju, dan baik. Sikap ini tidak
baik untuk dikembangkan di masyarakat yang multikultural seperti Indonesia.
Apabila sikap ini ada dalam diri warga suatu bangsa, maka kecil kemungkinan
mereka untuk bisa menerima keberadaan suku bangsa yang lain.
2. Etnosentrisme
Etnosentrisme artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada
masyarakat dan kebudayaannya sendiri, biasanya disertai dengan sikap
dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain.
Indonesia dapat maju dengan bekal kebersamaan, sebab tanpa itu yang
muncul adalah disintegrasi sosial. Apabila sikap dan pandangan ini dibiarkan
maka akan memunculkan provinsialisme yaitu paham atau gerakan yang
bersifat kedaerahan dan eksklusivisme yaitu paham yang mempunyai
kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat.
3. Diskriminatif
Diskriminatif adalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap
sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa,
ekonomi, agama, dan lain-lain. Sikap ini sangat berbahaya untuk
dikembangkan karena bisa memicu munculnya antipati terhadap sesama
warga negara.
4. Stereotip
Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan
prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Indonesia memang memiliki
keragaman suku bangsa dan masing-masing suku bangsa memiliki ciri khas.
Tidak tepat apabila perbedaan itu kita besar-besarkan hingga membentuk
sebuah kebencian.
Posting Komentar untuk "Menerapkan Kesadaran dan Praktik Hidup Multikultur"