Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial)
Dalam kehidupan politik akhir-akhir ini, tampak adanya
perseturuan dan persaingan yang tidak sehat, termasuk dalam
pelaksanaan Pilkada gubernur, bupati maupun walikota. Kebanyakan
dalam proses Pilkada tersebut terjadi ketidak puasan pihak-pihak
yang berkompotisi, karena adanya persaingan yang tidak sehat. Hal
ini dapat mengakibatkan tercorengnya kemurnian demokrasi politik
yang terbangun dari nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Hiruk pikuk
dan segala macam hingar bingar yang terjadi dalam proses
demokrasi politik tersebut setidaknya telah menyedot perhatian
masyarakat sehingga berdampak negative dalam keikutsertaan
anggota masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya.
DINAMIKA DAN MASA DEPAN POLITIK LOKAL
Bahwa dinamika dan masa depan politik local dalam social
capital yang demokratis di berbagai belahan dunia telah tumbuh dan
berkembang dalam proses yang panjang. Proses demokratisasi di
negara-negara Eropa Barat, ternyata bersumber dari politik lokal
kaum aristoktrat, para tuan tanah, yang berjuang melawan
kesewenang-wenangan kekuasaan mutlak raja mereka. Sementara di
negara-negara lainnya, di Eropa Timur, pasca perang dunia II
memproklamirkan diri menjadi negara demokratis. Menyusul upaya
pemisahan negara-negara bagian dengan memerdekakan dirinya
sendiri (negara-negara Balkan, negara bagian Uni Soviet, dan
sebagainya). Artinya sejarah perkembangan demokratisasi di negaranegara yang diklaim sebagai sumber lahirnya demokrasi berpangkal
dari politik lokal.
Tidak berbeda jauh dengan sejarah demokratisasi
masyarakat Barat, di negara berkembang yang bergulat
memperjuangkan diri lepaas dari cengkeraman penjajah kolonial
seperti Spanyol, Portugal, Inggris, Perancis, dan Belanda di negaranegara semenanjung Liberia (Amerika Selatan), selalu penuh dengan
gejolak politik lokal mempertentangkan antara kekuasaan kapitalis
milik para tuan tanah (latifundista) dengan kaum sosialis
revolusioner berjuang atas nama rakyat. Sedangkan di negara-negara
di Afrika, dan Asia Timur, perjalanan menuju demokrasi masyarakat
merekapun penuh dengan perjuangan kelompok-kelompok etnik
untuk memperebutkan sumber-sumber penghidupan yang tersebar
luas di wilayahnya.
Di Indonesia, sejarah politik lokal hampir setua umur
penjajahan kolonial, desentralisasi kekuasaan, dan administrasi
pemerintahan itu sendiri. Bahkan apabila kita menelusuri jauh ke
belakang, ke jaman kerajaan yang pernah berdiri dengan megahnya
di seantero nusantara, para bangsawan mempergunakan politik lokal
untuk memperluas wilayah dan kekuasaannya. Sehingga politik lokal
dapat dikatakan bukanlah barang baru dalam sejarah pembentukan
karakter bangsa dan negara hingga saat ini.
Sejarah politik lokal terbagi dalam beberapa tahapan masa,
yaitu: penjajahan kolonial Belanda; penjajahan kolonial Jepang;
pasca kemerdekaan tahun 1945; Republik Indonesia Serikat tahun
1948-1949; Demokrasi Parlementer; Demokrasi Terpimpin; Orde
Baru; dan Pasca Orde Baru. Peristiwa-peristiwa bersejarah menandai
hadirnya politik lokal di Indonesia akan diuraikan pada bagian
berikut.
a. Dinamika Politik Lokal di Era Penjajahan Kolonial Belanda
Di awal masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah
kolonial Belanda menerapkan aturan hukum berupa Reglement op
het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang
sangat konservatif. Aturan tersebut menjelaskan tentang sentralisasi
kekuasaan di Hindia Belanda bukan sebaliknya. Di samping
menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan kekuasaan
kepada wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya
terbatas di pulau Jawa saja. Lahirnya istilah seperti Gewest kemudan
berubah menjadi Residentie, Afdeeling, District, dan Onder-district,
merupakan pertanda adanya bentuk perwakilan kewenangan
pemerintah Belanda pada wilayah-wilayah di daerah jajahannya.
Sehingga, desentralisasi sesungguhnya bukanlah hal baru di
bumi Indonesia, karena pada masa penjajahan kolonial Belanda di
tahun 1903 para elit Eropa di Hindia Belanda diberikan wewenang
mendirikan pemerintahan sendiri, namun secara terbatas. Kerajaan
Belanda menerbitkan Wethoundende Decentralisatie van het Bestuur
in Nederlandsch Indie (Stb. 1903/329), lebih dikenal sebagai
Decentralisatiewet 1903. Menurut Harry J. Benda (1966), undangundang ciptaan bangsa penjajah tersebut tidak memberikan landasan
apapun dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hanya daerahdaerah besar sajalah mendapat perhatian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Hindia Belanda. Selanjutnya, dapat ditebak
bahwa titik berat penyelenggaraan otonomi daerah hanya fokus pada
provinsi dan kabupaten besar saja.
Pada tahun 1922, terbit Undang-undang tentang
desentralisasi, menjadi dasar lahirnya provinsi-provinsi baru dengan
otonomi administratif cukup besar. Namun demikian Sutherland
(1979) mengatakan bahwa pemberian otonomi tersebut bukanlah
ditujukan memberikan jalan bagi pertumbuhan demokratisasi lokal,
namun sebagai benteng penangkal nasionalisme saja. Pemberian
kewenangan otonomi administratif hanya menimbulkan kekacauan
belaka akibat semakin tajam perbedaan antara kaum aristokrat
kolonial dengan pribumi dalam mengatur pemerintahan. Pada tahun
1931, pemberontakan kekuatan komunis di Jawa Barat dan Sumatera
Barat memaksa penjajah kolonial menarik kembali kewenangan
otonomi lokal ke sentral (sentralisasi).
Ciri dari sistem pemerintah kolonial sebelum kemerdekaan
adalah sebagai berikut :
- pemerintahan tidak langsung,
- pemberlakukan aturan double standart, hukum eropa konservatif bagi elit Eropa dan hukum adat bagi pribumi,
- berkembangnya elit pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan sebagai waki pemerintah kolonial di luar pulau Jawa,
- isolasi gerakan nasionalis,
- pengendalian ketat daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit pribumi tradisional patuh pada kekuasaan kolonial.
b. Dinamika Politik Lokal di Era Penjajahan Kolonial Jepang
Pada masa pendudukan kolonial Jepang, daerah bekas
jajahan Belanda terbagi menjadi tiga komando, yaitu :
- Sumatera di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XXV di Bukittinggi;
- Jawa dan Madura di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI di Jakarta;
- Daerah lain di bawah Komando Panglima Angkatan Laut di Makassar.
Selanjutnya, pola pemerintahan pada masa setelah tahun 1943,
kekuasaan menjadi sentralistis dipulihkan kembali, dengan
kekuasaan berada pada Gubernur Jenderal atau disebut dengan
Saikosikikan. Aturan-aturan selanjutnya tentang pemerintahan
daerahpun bikinan kolonial Belanda, dibuat sedemikian rupa
sehingga daerah provinsi dan kabupaten hanyalah sebagai boneka-boneka yang taat pada keinginan pemerintahan kolonial Jepang atau
Pemerintah Bala Tentara Jepang.1 Pemerintahan kolonial Jepang
sepertinya tidak ingin mengambil resiko lebih besar dengan
memberikan kekuasaan dan kewenangan pada kaum pribumi
mengatur urusan di daerah masing-masing. Artinya pola
pemerintahan lokal Indonesia di masa penjajahan kolonial Jepangpun
tidak jauh dari nuansa sentralistis.
c. Dinamika Politik Lokal di Era Kemerdekaan 1945
Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya pada tahun
1945, Belanda yang terusir dari bumi Hindia Belanda karena
kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali
kekuasaannya di Indonesia. Segala dalih politikpun direncanakan
demi merebut ambisi menduduki kembali bumi Indonesia, karena
kerajaan Belanda masih memandang bahwa Indonesia sebagai
koloninya. Di bawah tekanan dunia internasional, Belanda dipaksa
menunaikan tanggung jawab moralnya sebagai eks-penjajah dengan
membantu merancang tata administrasi pemerintahan negara
Indonesia yang masih sangat belia. Pada saat itu, di bawah
pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa serangkaian misi
perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah
kerajaan Belanda dijalankan. Negara-negara kuat, seperti Inggris,
memantau perkembangan perundingan dengan seksama.
Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, negosiasi diplomatik terjadi antara pemerintah Indonesia
dan pemerintahan kerajaan Belanda. Di bulan September 1946
perwakilan Indonesia memulai pertemuan dengan perwakilan
pemerintah kerajaan Belanda di Linggarjati dengan difasilitasi oleh
pemerintah Inggris. Pemerintah Belanda memaksa berlakunya sistem
negara federal di Indoensia.
Desember 1946 negara Indonesia Timus dibangun atas dasar
hasil Konferensi di Bali sebagai bagian dari cikal bakal negara
federasi. Pada bulan Maret 1947, perundingan Linggar Jati
ditandatangai, dengan isi bahwa pemerintah Belanda dan Indonesia
harus bekerja sama mendirikan negara demokrasi yang berdaulat disebut dengan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara
RIS termasuk Republik Indonesia (Sumatera dan Jawa), Kalimantan,
dan Negara Indonesia Timur. Ide tentang sistem negara federal
tersebut dengan cepat diasosiasikan sebagai upaya pemerintah
Belanda untuk mendestabilisasi Indonesia. Itikad buruk pemerintah
Belanda untuk menjajah kembali Indonesia dilakukan dengan cara
membagi-bagi Indonesia ke dalam unit-unit pemerintahan kecil
sehingga lebih mudah dikontrol dan menghindari munculnya
gerakan-gerakan nasionalis pro-kemerdekaan. Akan tetapi ada saja
segelintir elit Indonesia yang masih menginginkan kekuasaan,
membuka dirinya untuk membantu mensukseskan rencana Belanda
tersebut
Ketika itu, banyak masyarakat Indonesia tidak puas dengan
perundingan Linggarjati dan bergabung dalam perjuangan gerilya
melawan tentara Belanda. Pada bulan Juli 1947 Belanda melanggar
perjanjian Linggarjati dengan menyerang gerilyawan. Pada bulan
Januari 1948, perjanjian Renville ditandatangani mengakhiri perang.
Pada bulan Desember 1949 kembali lagi Belanda melancarkan
serangan pada kota Yogyakarta, saat itu sebagai ibukota Republik
Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hata
ditangkap dan dipenjarakan di pulau Bangka. Di tahun berikutnya, di
bawah tekanan Perserikatan Bangsa-bangsa, pemerintah Belanda
dipaksa membebaskan Soekarno, Hatta, dan lainnya. Setelah
Konferensi Meja Bundar disponsori Perserikatan Bangsa-bangsa,
maka Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada tanggal 27
Desember 1949.
Politik Belanda saat itu adalah merumuskan Indonesia ke
dalam negara-negara bagian sehingga terciptalah bentuk negara
Federasi yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Batas
negara-negara bagian tersebut adalah mengikuti batas-batas garis
provinsi sehingga terciptalah pemerintahan-pemerintahan regional bercirikan watak primordial dikuasai oleh elit penguasa daerah
berdasarkan garis keturunan raja ataupun bangsawan.
Menurut hasil penelitian Adnan Buyung Nasution (2000),
konsep federalisme pertama kalinya diperkenalkan oleh Ritsema van
Eck, Kepala Kehutanan di Jawa pada masa pemerintahan kolonial
Belanda di Indonesia.4 Saat itu konsep Ritsema yang juga
mengikutsertakan nasib kelompok etnis luar Indonesia di bawah
kekuasaan kerajaan Belanda, Curacao dan Suriname, dipertanyakan
oleh Prof. Van Vollenhoven, Prof. Snouck Hurgronje, dan Prof.
Colenbrader, yang intinya mengatakan bahwa ide Ritsema hanyalah
untuk memenuhi maksud Belanda untuk meningkatkan kekuatannya
dengan.
Perdebatan muncul pada saat negosiasi antara pemerintah
Belanda dan Indonesia dalam memperjuangkan nasib kedaulatan
Indonesia selanjutnya. Para pengusung ide negara federal
berargumen bahwa sistem federal memungkinkan setiap wilayah
untuk mendapatkan kesempatan untuk membangun sistem
pemerintahan yang sesuai dengan keunikan budaya dan latar
belakang etnis mereka. Pada akhirnya, perdebatan mencapai puncak
ketika Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
yang hanya bertahan 3 ½ tahun lamanya (1946-1949).
Menurut Nasution, ada 2 alasan kegagalan RIS yang
memiliki 17 negara bagian yaitu:
- Indonesia merasa dikhianati oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Mook, karena pendirian negara miniatur di luar federasi: Pasundan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bangka, Belitung, di luar kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Belanda, dan
- Tulisan Dr. Anak Agung Gde Agung, tokoh pemimpin dari wilayah Timur Indonesia, berisikan mengenai tiga setengah tahun pelaksanaan federalisme di wilayah Timur Indonesia ternyata gagal memberikan hasil memuaskan.
Konsep politik lokal ciptaan Belanda tersebut menemui jalan
buntu ketika penguasa lokal harus berhadapan dengan elit nasonalis
revolusioner yang berjuang dalam kombinasi diplomasi dan gerilya
sekaligus. Para elit nasionalis revolusioner tersebut sangat mencurigai itikad buruk pemerintah kerajaan Belanda untuk
mengambil alih kembali kekuasaannya di Indonesia dengan politik
memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Maka di tahun 1950,
negara federasi dinyatakan bubar dan kembali menjadi negara
kesatuan.
d. Dinamika Politik Lokal di Era Demokrasi Parlementer
Pada masa demokrasi parlementer (1950-1959), lahirlah Undang-undang Nomor 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956, dengan alasan :
1. Bahwa berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan maka undangundang pokok Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu diperbaharui sesuai dengan bentuk Negara Kesatuan;
2. Bahwa pembaharuan itu perlu dilakukan dalam suatu Undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia. Daerah otonompun terbagi menjadi dua jenis: daerah swatantra dan daerah istimewa dengan konsep rkembangan situasi politik Indonesia masa itu kurang menguntungkan, perdebatan muncul di Dewan Konstituante antara tahun 1956 sampai tahun 1959 hampir membuat negara kesatuan kembali pecah. Perdebatan sangat tajam muncul di tahun 1957 ketika semua kekuatan politik dan partai dari berbagai ideologi politik menyatakan pendapatnya mengenai sistem negara. Sentimen tentang ide negara federasi Indonesia rancangan Van Mook masih hangat diperdebatkan, walaupun juga ada beberapa bagian dari sistem federal yang diterima oleh pendukung negara kesatuan. Akan tetapi, Dewan Konstituante kembali gagal mencapai kesepakatan, dengan partai besar seperti PNI, PKI, dan lainnya seperti Murba, IPKI, GPPS terlibat perdebatan sengit mematahkan argumen teoritis akan keberadaan negara federal. Partai pendukung ide negara federal seperti, Masyumi, PSII, Partai Buruh, dan Parkindo ternyata harus mengalah.
Pada akhirnya negara kesatuan disepakati sebagai pilihan dengan beberapa persyaratan, seperti:
- penegakan demokrasi lebih berguna untuk meredam ketidakpuasan
di berbagai daerah, melawan ketidakadilan, dan menghindari
sentralisasi yang tidak seimbang, dan
- wilayah-wilayah sedapatnya akan diberikan otonomi seluas-luasnya.
e. Dinamika Politik Lokal di Era Demokrasi Terpimpin
Selepas Dekrit Presiden di tahun 1959 diberlakukan,
pemerintahanpun semakin mengarah pada demokrasi terpimpin. Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6/1959
(disempurnakan) dan Penetapan Presiden Nomor 6/1959
(disempurnakan) mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Dasar
pemikiran undang-undang pemerintahan daerah adalah:
- Tetap mempertahankan politik dekonsentrasi dan desentralisasi, dengan menjunjung paham desentralisasi teritorial;
- Dihapuskan dualisme pimpinan daerah.
- Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I;
- Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II;
- Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.
f. Dinamika Politik Lokal di Era Orde Baru
Pada masa pemerintahan Orde Baru, lahirlah Undangundang Nomor 5/1974 dimana semangat sentralisasi pemerintahan
justru semakin menjadi-jadi. Undang-undang tersebut memainkan
peranan penting dalam memperluas kekuasaan pemerintah pusat ke
daerah. Penunjukan para gubernur dengan latar belakang militer oleh
Presiden Soeharto sangatlah menguntungkan kejayaan bisnis militer
mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah. Para kepala
daerah tersebut berlindung di balik doktrin dwifungsi ABRI yang
ketika itu membenarkan peran militer aktif untuk terjun dalam
pemerintahan sipil. Disamping para perwira militer menikmati
jabatan puncak di daerah-daerah, para anggota militer pangkat lebih
rendah memainkan peran mereka sebagai pelindung (backing)
pengusaha-pengusaha pusat maupun lokal, menjual jasa pengamanan
yang seringkali menimbulkan bentrokan dengan masyarakat sipil.
Di dalam masa kekuasaan Order Baru, etnis cina
Indonesia memperoleh perlakuan khusus, sehingga jurang ekonomi
antara masyarakat keturuna etnis Cina dengan kaum pribumi menjadi
sangat tajam. Lebih jauh lagi, masa pemerintahan Soeharto
memunculkan model pembangunan daerah yang timpang antara
masyarakat di belahan Indonesia bagian Barat (Jawa dan Sumatra)
yang kaya dengan masyarakat di Indonesia bagian Timur yang melarat dan kelaparan (Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur sebelum
menjadi negara Timor Lester, dan Papua).
g. Dinamika Politik Lokal Pasca Orde Baru (Era Reformasi).
Terhitung sejak itu, pada tahun 1999, Indonesia mencatatkan
sejarah dalam memasuki era desentralisasi sesungguhnya. Dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah, desentralisasi membuka peluang politik lokal mencari jalan
keluar menuju kemandirian daerah. Dapat dibayangkan semangat
euphoria putra-putra daerah memindahkan kekuasaan dari pusat ke
daerah berarti juga memberikan kesempatan mereka untuk menjadi
- -daerah dengan sumber
daya alam kuat berencana memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Langkah-langkah strategis Presiden Habibie saat itu selain
memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai-partai
politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat
Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia
tersebut menjadi merdeka sepenuhnya. Dengan demikian UU Nomor
22/1999 telah memberikan dasar-dasar pemerintahan desentralisasi
administratif yang sangat banyak kelemahannya.
Menurut Michael Malley (2004) dan Turner et al (2003),
aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah tersebut mengadung
kelemahan karena tidak mengikutsertakan masukan dari daerahdaerah. Sekelompok elit bekerja secara tergesa-gesa melahirkan
model desentralisasi ala Barat. Desentralisasi tersebut memang
sengaja dirancang atas dasar titipan dari pemikiran-pemikiran Barat
yang sangat itu sangat ingin memberlakukan model desentralisasi
mereka ke negara-negara berkembang.
MASA DEPAN POLITIK LOKAL DALAM SOCIAL CAPITAL
Melihat masa depan dari politik lokal dalam koridor social
capital di Indonesia merupakan sesuatu hal yang abstrak atau sulit
untuk diwujudkan sampai hari ini. Kesulitan dalam mewujudkan
politik lokal dalam social capital tersebut, dikarenakan oleh adanya
dua pandangan yang dominan, yaitu :
- pandangan optimisme terhadap masa depan politik lokal yang melihat politik lokal sebagai desentralisasi,
- pandangan pesimisme terhadap masa depan politik lokal di Indonesia yang melihat politik lokal dari kasus-kasus mikro ditingkat lokal.
Selain itu politik lokal dalam social capital
juga sering diidentikan dengan demokrasi dan desentralisasi, padahal
ada atau tidak adanya demokrasi dan desentralisasi, politik lokal
akan tetap ada atau hadir. Dengan adanya dua pandangan dominan
dan penyamaan demokrasi serta desentralisasi dengan politik lokal
tersebut, maka diperlukan pegkajian yang mendalam terhadap politik
lokal tersebut agar masa depan dari politik lokal yang dimaksudkan
dapat terwujud dalam praktek perpolitikan.
Terdapat empat prespektif dalam memahami atau melihat
politik lokal, yaitu prespektif Pluralist, Marxist, Neo-klasik dan
Kulturalist.
- Prespektif pluralist melihat politik lokal sebagai entitas politik yang berdiri sendiri karena kemajemukanlah yang menjadi nilai normatif utama.
- Prespektif marxist tidak mempercayai politik lokal sebagai entitas karena bagi prespektif ini politik lokal merupakan kepanjangan dari politik sebagai akibat dari pemusatan kekuasaan yang berada pada kelas berkuasa.
- Prespektif neo-klasik melihat politik lokal sebagai suatu entitas ekonomi, dimana politik lokal dijadikan alat untuk menfasilitasi bekerjanya pasar sebab prespektif ini anti terhadap negara dan hanya percaya pada pasar sebagai pembawa kemakmuran.
- Sedangkan prespektif kulturalist melihat politik lokal sebagai sebuah entitas budaya. Keempat prespektif tersebut dapat digunakan dalam melihat masa depan politik lokal di Indonesia dengan menganalisis politik lokal yang telah berkembang di Indonesia bahkan sejak pra kemerdekaan hingga saat ini.
Pada masa kolonialisme, politik lokal di Indonesia juga telah
berkembang dibawah pemerintahan kolonial Belanda maupun
Jepang. Meskipun Belanda dan Jepang memerintah di Indonesia
dengan sentralistik, masih ada ruang bagi berkembangnya politik
lokal terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, politik lokal diberikan ruang untuk
berkembang melalui inlendsche gemeente. Dimana desa memiliki
otonominya sendiri untuk mengatur pemerintahannya sesuai dengan
lokalitas, sehingga memberi keragaman politik lokal diberbagai
wilayah di Indonesia. Bahkan kerajaan-kerajaan asli Indonesia yang
berada di daerah yang tidak langsung dikuasai oleh Belanda tetap
dibiarkan berkembang dan ikatan dengan pemerintahan Belanda
menggunakan kontrak politik disebut sebagai zelfbesturende
landschappen. Kelonggaran yang diberikan pemerintahan kolonial
belanda pada daerah-daerah di Indonesia untuk mengembangkan
politik lokalnya bahkan diatur dalam regulasi yaitu reglement op het
beleid der regering van nederlandsch indie, decentralisatiwet (1903)
dan bestuurshervormings ordinnantie.
Regulasi-regulasi tersebut mengarah pada adanya
dekonsentrasi atau pembagian sebagian wewenang yang diberikan
oleh pemerintah kolonial Belanda kepada daerah. Sehingga dapat
mengembangkan lokalitas dan keberagaman terhadap politik lokal
didaerah, bahkan juga memunculkan elit aristokrasi lokal (elit
pribumi). Pada masa pemerintahan kolonial Belanda ini, politik lokal
dilihat sebagai entitas politik seperti pendekatan prespektif pluralist
dalam melihat politik lokal. Hal tersebut dikarenakan politik lokal
diberi ruang untuk berkembang dan juga terdapat kemajemukan atau
keberagaman dalam mengelola pemerintahan di daerah sesuai
dengan lokalitasnya (otonomi daerah). Sedangkan pada masa
pemerintah kolonial jepang, politik lokal tidak mengalami
perkembangan karena karakter politik pemerintahannya yang
resentralistik dan militeristik.
Posting Komentar untuk "Dinamika Politik Lokal Dalam Social Capital (Modal Sosial)"