VOC Gulung Tikar (Bangkrut)
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan. Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara umumnya berhasil dikuasai. Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi bawahan dan pelayan kepentingan VOC.
Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua. Keuntungan perdagangan rempah-rempah juga melimpah. Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan.
Semakin banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat masalah pengelolaan semakin kompleks. Semakin luas daerahnya, pengawasan juga semakin sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat.
Orang-orang timur asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai pusat pemerintahan VOC, Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, dari luar Batavia sehingga tidak jarang menimbulkan masalah-masalah sosial.
Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC.
Dengan demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas” yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC.
Dengan demikian, VOC berada di bawah kekuasaan raja. Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah Belanda. Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan. Pengurus tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri.
VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntungannya semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu membayar dividen. Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang yang telah dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan.
Sementara itu para pejabat VOC juga mulai menunjukkan sikap dan perilaku gila hormat yang cenderung feodalis. Pada tanggal 24 Juni 1719 Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya.
Misalnya, semua orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754.
Ordonansi ini mengatur kendaraan kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk anggota dewan hindia, kuda yang menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak.
Nampaknya para pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran. Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap tanpa hadiah dan upeti.
Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi. Hal ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh organisasi VOC. Semua bermuatan korupsi.
Gubernur Jenderal Van Hoorn konon menumpuk harta sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya sekitar 700 gulden sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan 20-30 ribu gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per bulan.
Untuk menjadi karyawan VOC juga harus “menyogok”. Pengurus VOC di Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin menjadi pegawai onderkoopman (pada hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman hanya f.40,- perbulan), untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan untuk menjadi kopral harus membayar 120 gulden begitu seterusnya yang semua telah merugikan uang lembaga (baca Parakitri Simbolon, 2007).
Demikianlah para pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan sesaat. Beban utang VOC menjadi semakin berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut dan gulung tikar.
Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi) (R.Z. Leirissa. “Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)” dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak.
Menurut penilaian pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah bangkrut. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar.
Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Posting Komentar untuk "VOC Gulung Tikar (Bangkrut)"