Sejarah Perang Diponegoro
Memasuki abad ke-19, keadaan di Jawa khususnya di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan. Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada dan atau dapat melahirkan konflik baru di lingkungan kerajaan. Hal ini juga terjadi di Surakarta dan Yogyakarta. Campur tangan kolonial itu juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara, seperti minum-minuman keras. Dominasi pemerintahan kolonial juga telah menempatkan rakyat sebagai objek pemerasan, sehingga semakin menderita. Pada waktu itu pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah untuk kepentingan perkebunan. Pada umumnya tanah itu disewa dengan penduduknya sekaligus. Akibatnya, para petani tidak dapat mengembangkan hidup dengan pertaniannya, tetapi justru menjadi tenaga kerja paksa. Rakyat tetap hidup menderita. Perubahan pada masa Van der Capellen juga menimbulkan kekecewaan. Beban penderitaan rakyat itu semakin berat, karena diwajibkan membayar berbagai macam pajak, seperti:
- welah-welit (pajak tanah),
- pengawang-awang (pajak halaman pekarangan),
- pecumpling (pajak jumlah pintu),
- pajigar (pajak ternak),
- penyongket (pajak pindah nama),
- bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).
Di samping berbagai pajak itu masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol. Semua lalu lintas pengangkut barang juga dikenai pajak. Bahkan seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak. Penderitaan rakyat ini semakin bertambah setelah terjadi wabah kolera di berbagai daerah. Sementara itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terdapat jurang pemisah antara rakyat dengan punggawa kerajaan dan perbedaan status sosial antara rakyat pribumi dengan kaum kolonial. Adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara rakyat dan kaum kolonial, sering menimbulkan kelompok-kelompok yang tidak puas sehingga sering menimbulkan kekacauan. Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang bangsawan, putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan melihat penderitaan rakyat dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Pangeran Diponegoro merasa sedih menyaksikan masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Timur. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro berusaha menentang dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Pada tanggal 20 Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro. Meletusnya perang ini didasarkan pada visi dan cita-cita Pangeran Diponegoro yakni untuk membentuk Kesultanan Yogyakarta yang memuliakan agama yang berada dalam wadah negara Islam. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro disebut telah melakukan “hijrah kultural”.(Saleh As’ad Djamhari, “ Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa (1825-1830)” dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Bermula dari insiden anjir
Sejak tahun 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai residen di Yogyakarta. Tokoh Belanda ini dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, Smissaert bekerja sama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/ patok) dalam rangka membuat jalan baru. Pemasangan anjir ini secara sengaja melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin. Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut. Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga pasukan Macanan (pasukan pengawal kepatihan). Dengan keberaniannya pengikut Pangeran Diponegoro mencabuti anjir/patok-patok itu dan digantikannya dengan tombak-tombak mereka. Berawal dari insiden anjir inilah meletus Perang Diponegoro. Pada tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun berkumpul di ndalem Tegalreja. Mereka membawa berbagai senjata seperti pedang, tombak, dan lembing. Mereka menyatakan setia kepada Pangeran Diponegoro dan mendukung perang melawan Belanda. Belanda datang dan mengepung kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalreja.
Pertempuran sengit antara pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat dihindarkan. Tegalreja dibumihanguskan. Dengan berbagai pertimbangan, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan ke Bukit Selarong. Pangeran Diponegoro adalah pemimpin yang tidak individualis. Beliau sangat memperhatikan keselamatan anggota keluarga dan anak buahnya. Sebelum melanjutkan perlawanan Pangeran Diponegoro harus mengungsikan anggota keluarga, anak-anak dan orang-orang yang sudah lanjut usia ke Dekso (daerah Kulon Progo). Untuk mengawali perlawanannya terhadap Belanda Pangeran Diponegoro membangun benteng pertahanan di Gua Selarong. Dalam memimpin perang ini Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari masyarakat, para punggawa kerajaan, dan para bupati. Tercatat 15 dari dari 29 pangeran dan 41 dari 88 bupati bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Di samping itu, Pangeran Diponegoro juga sudah mempersiapkan termasuk penggalangan dana, tenaga, dan persenjataan. Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari berbagai lapisan pangeran, dan priayi sepuh, juga rakyat. Mereka rela mengumpulkan barang-barang berharga seperti uang kontan dan perhiasan, aneka sarung keris bertatahkan permata, dan sabuk bersepuhkan emas. Bantuan juga diberikan rakyat sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara dari segi persenjataan para pengikut Pangeran Diponegoro mempersenjatai dirinya sendiri dengan senjata seadanya. Seperti dilaporkan seorang komandan pasukan gerak cepat Belanda menceritakan sebagai berikut.
Mengatur Strategi dari Selarong
Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Dipersiapkan beberapa tempat untuk markas komando cadangan. Kemudian Pangeran Diponegoro menyusun langkah-langkah. (1) merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan mencegah masuknya bantuan dari luar. (2) mengirim kurir kepada para bupati atau ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda. (3) menyusun daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan. (4) membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang, dan mengangkat para pemimpinnya. Pangeran Diponegoro telah membagi menjadi 16 mandala perang, yaitu Yogyakarta dan sekitarnya di bawah komando Pangeran Adinegoro (adik Diponegoro) yang diangkat sebagai patih dengan gelar Suryenglogo. Bagelen diserahkan kepada Pangeran Suryokusumo dan Tumenggung Reksoprojo. Perlawanan di daerah Kedu diserahkan kepada Kiai Muhammad Anfal dan Mulyosentiko. Bahkan, di daerah Kedu Pangeran Diponegoro juga mengutus Kiai Hasan Besari mengobarkan Perang Sabil untuk memperkuat pasukan yang telah ada. Pangeran Abubakar didampingi Pangeran Muhammad memimpin perlawanan di Lowanu. Perlawanan di Kulon Progo diserahkan kepada Pangeran Adisuryo dan Pangeran Somonegoro.
Yogyakarta bagian utara dipimpin oleh Pangeran Joyokusumo. Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Suryonegoro, Somodiningrat, dan Suronegoro. Perlawanan di Gunung Kidul dipimpin oleh Pangeran Singosari. Daerah Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Daerah Pajang diserahkan kepada Warsokusumo dan Mertoloyo, sementara itu daerah Sukowati dipimpin oleh Tumenggung Kertodirjo dan Mangunnegoro. Gowong dipimpin oleh Tumenggung Gajah Pernolo. Langon dipimpin oleh Pangeran Notobroto Projo. Serang dipimpin oleh Pangeran Serang. Sebagai pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya. Nyi Ageng Serang yang sudah berusia 73 tahun bersama cucunya R.M. Papak bergabung bersama pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang (nama aslinya R.A. Kustiah Retno Edi), sejak remaja sudah anti terhadap Belanda dan pernah membantu ayahnya (Panembahan Serang) untuk melawan Belanda. Tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro balik menyerang Keraton Yogyakarta. Serangan ke keraton ini mendapatkan hasil. Pasukan Pangeran Diponegoro di desa Kejiwan berhasil memporak porandakan pasukan Belanda yang di pimpin Sollewijn.
Pasukan Diponegoro berhasil menduduki keraton. Pada tahun-tahun awal Pangeran Diponegoro mengobarkan semangat “Perang Sabil”. Perlawanannya berjalan sangat efektif. Pusat kota dapat dikuasai. Selanjutnya pasukan Pangeran Diponegoro bergerak ke timur dan berhasil menaklukan Delanggu dalam rangka menguasai Surakarta. Namun, pasukan Pangeran Diponegoro dapat ditahan oleh pasukan Belanda di Gowok. Secara umum dapat dikatakan pasukan Pangeran Diponegoro mendapatkan banyak kemenangan. Beberapa pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Untuk memperkokoh kedudukan Pangeran Diponegoro, para ulama dan pengikutnya menobatkannya sebagai raja dengan gelar: Sultan Abdulhamid Herucokro (Sultan Ngabdulkamid Erucokro).
Perluasan perang di berbagai daerah
Perlawanan Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Kemudian ke arah timur meluas ke Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa. Oleh karena itu, Perang Diponegoro sering dikenal dengan Perang Jawa. Semua kekuatan dari rakyat, bangsawan, dan para ulama bergerak untuk melawan kekejaman Belanda. Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas itu, Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. Beberapa komandan tempur dikirim ke berbagai daerah pertempuran. Misalnya Letkol Clurens dikirim ke Tegal dan Pekalongan, kemudian Letkol Diell ke Banyumas. Jenderal de Kock sebagai pemimpin perang Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. Untuk menambah kekuatan Belanda, juga didatangkan bantuan tentara Belanda dari Sumatera Barat.
Belanda berusaha menghancurkan pos-pos pertahanan pasukan Pangeran Diponegoro. Sasaran pertama Belanda yaitu pos pertahanan Pangeran Diponegoro di Gua Selarong. Tanggal 4 Oktober 1825 pasukan Belanda menyerang pos tersebut. Namun, ternyata pos Gua Selarong sudah kosong. Ini memang sebagai bagian strategi Pangeran Diponegoro. Pos pertahanan Diponegoro sudah dipindahkan ke Dekso di bawah pimpinan Ali Basyah Sentot Prawirodirjo. Pada tahun 1826 pasukan Ali Basyah Sentot Prawirodirjo ini berhasil mengalahkan tentara Belanda di daerah-daerah bagian barat (Kulon Progo dan sekitarnya). Sementara itu, di Gunung Kidul pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran Singosari juga mendapatkan berbagai kemenangan. Benteng pertahanan Belanda di Prambanan juga berhasil diserang oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Tumenggung Suronegoro. Plered sebagai pos pertahanan Diponegoro juga sering mendapat serangan Belanda. Meskipun demikian, Plered masih dapat dipertahankan oleh pasukan Diponegoro di bawah Kertopengalasan.
Seperti telah diterangkan di atas bahwa perlawanan Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari para bupati di mancanegara(istilah mancanegara untuk menyebut daerah-daerah yang berada di luar Yogyakarta). Misalnya terjadi perlawanan sengit di Serang (daerah perbatasan antara Karesidenan Semarang dan Surakarta). Daerah-daerah mancanegara bagian timur terus melakukan perlawanan di bawah para bupatinya, misalnya di Madiun, Magetan, Kertosono, Ngawi, dan Sukowati. Sementara itu, peperangan di daerah mancanegara bagian barat meluas di wilayah Bagelen, Magelang dan daerah-daerah Karesiden Kedu lainnya.
Benteng Stelsel pembawa petaka
Pangeran Diponegoro menerapkan beberapa strategi perang. Pangeran Diponegoro menerapkan perang dengan penyerangan langsung yang mengandalkan jumlah pasukan yang besar. Selain itu, ia juga menjalankan prinsip perang gerilya. Bahkan, Pangeran Diponegoro juga menerapkan strategi perang atrisi (penjemuan). Strategi ini mengubah perang secara langsung dengan perang jangka panjang (agar Belanda sampai bosan). Dalam melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda, pasukan Pangeran Diponegoro senantiasa bergerak dari pos pertahanan yang satu ke pos yang lain. Pengaruh perlawanan Diponegoro ini semakin meluas. Perkembangan Perang Diponegoro ini sempat membuat Belanda kebingungan. Untuk menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos yang satu ke pos yang lain, Jenderal de Kock menerapkan strategi dengan sistem Benteng Stelsel.
Dengan strategi Benteng Stelsel sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro dapat diatasi. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa tempat misalnya di Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Magelang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Setiap tempat dihubungkan dengan benteng pertahanan. Selain itu, Magelang dijadikan pusat kekuatan militer Belanda.
Dengan sistem Benteng Stelsel ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu ke waktu semakin sempit. Para pemimpin yang membantu Diponegoro mulai banyak yang tertangkap, tetapi perlawanan rakyat masih terjadi di beberapa tempat. Pasukan Diponegoro di Banyumeneng harus bertahan dari serangan Belanda. Di Rembang di bawah pimpinan Raden Tumenggung Ario Sosrodilogo, rakyat mengadakan perlawanan di daerah Rajegwesi. Namun, perlawanan di Rembang dapat dipatahkan oleh Belanda pada bulan Maret 1828. Sementara itu, pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo justru berhasil menyerang benteng Belanda di Nanggulan (daerah di Kulon Progo sekarang). Penyerangan ini berhasil menewaskan Kapten Ingen. Peristiwa penyerangan benteng di Nanggulan ini mendapat perhatian para pemimpin perang Belanda. Pasukan Belanda dikonsentrasikan untuk mendesak dan mempersempitkan ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo dan kemudian mencoba untuk didekati agar mau berunding. Ajakan Belanda ini berkali-kali ditolaknya. Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot Prawirodirjo. Pertahanan hati Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk berunding. Pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani Perjanjian Imogiri antara Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda. Isi perjanjian itu antara lain sebagai berikut.
- Sentot Prawirodirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam.
- Pasukan Sentot Prawirodirjo tidak dibubarkan dan ia tetap sebagai pemimpinnya.
- Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai sorban.
- Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri Yogyakarta untuk secara resmi menyerahkan diri.
Penyerahan diri dan tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus berjuang mempertahankan tanah tumpah darahnya. Pasukan ini bergerak dari satu pos yang ke pos lain. Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro akan berakhir. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetapi nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.
Posting Komentar untuk "Sejarah Perang Diponegoro"