Sejarah Perang Banjar
“Ikam nang baamal dengan kesukaan aku, akan permintaan ikam mandapat nagri dan pagustianikam batatap, kardjaakan, barbunyian, mau raja-raja gaib manolong ikam, sakira-kira jadi salamat nagri dan rajapun tatap. Tetapi Pangeran Antasari ikam aturi ka Muning”
“Engkau yang melakukan amalan zikir, salat serta puasa dengan kesukaan atau izin, akan segala permintaan engkau untuk mendapat negeri dan raja-raja yang bertahta, bunyikanlah bunyi-bunyian. Anakmu yang bisa menari gandut suruh menarikan gandut dilaksanakan, maka raja-raja gaib akan menolong kamu, sehingga menjadi selamatlah rajapun akan duduk di atas tahta. Tetapi Pangeran Antasari kamu mohon datang ke Muning” (Tim, Sejarah Banjar, 2003).
Menurut Panembahan Muning berdasarkan ilham atau firasat (dalam bahasa Jawa: wisik) bahwa nasib dan keselamatan Kesultanan Banjarmasin tergantung kepada peran serta Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah.
Pangeran Antasari adalah juga seorang pangeran yang diperkirakan juga keturunan raja di Banjarmasin. Gerakan Aling ini membuat suasana kerajaan semakin kacau. Pusat gerakan Aling dinamakan Tambai Mekah (Serambi Mekah) yang terletak di tepian Sungai Muning.
Aling juga memanggil Antasari agar datang di Tambai Mekah. Pengaruh Aling ini semakin besar dan banyak pengikutnya, karena Aling memang dipandang orang yang sakti. Pangeran Antasari yang memang sudah kecewa dengan apa yang terjadi di lingkungan kerajaan, datang dan bergabung dengan Gerakan Aling.
Antasari berkeinginan untuk menurunkan Tamjidillah dan melawan kekuasaan Belanda. Di samping kekuatan penuh dari pengikut Aling, Pangeran Antasari juga mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti Sultan Pasir dan Tumenggung Surapati pimpinan orang-orang Dayak.
Bagaimana Perang Banjar berlangsung?
Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning yang dipimpin oleh Panembahan Aling dan puteranya, Sultan Kuning menyerbu kawasan tambang batu bara di Pengaron. Sekalipun gagal menduduki benteng di Pengaron tetapi para pejuang Muning berhasil membakar kawasan tambang batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda di sekitar Pengaron.
Banyak orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan orang-orang Muning ini. Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik gubernemen di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal. Dengan demikian berkobarlah Perang Banjar.
Dengan peristiwa tersebut, keadaan pemerintahan Kesultanan Banjar semakin kacau. Sultan Tamjidillah yang memang tidak disenangi oleh rakyat itu juga tidak bisa berbuat banyak. Oleh karena itu, Tamjidillah dinilai oleh Belanda tidak mampu memerintah yang diminta untuk turun tahta.
Akhirnya pada tanggal 25 Juni 1859 secara resmi Tamjidillah mengundurkan diri dan mengembalikan legalia Banjar kepada Belanda. Tamjidillah kemudian diasingkan ke Bogor. Mulai saat itu Kesultanan Banjar berada di bawah kendali Belanda. Belanda sebenarnya berusaha membujuk Pangeran Hidayatullah untuk bergabung dengan Belanda dan akan dijadikan Sultan Banjar.
Tetapi melihat kelicikan Belanda, Pangeran Hidayatullah menilai bujukan itu merupakan tipu daya Belanda. Oleh karena itu, Pangeran Hidayatullah memilih bersama rakyat untuk melancarkan perlawanan terhadap Belanda.
Sementara itu pasukan Antasari sudah bergerak menyerbu pos-pos Belanda di Martapura. Perlawanan Antasari dengan cepat mendapat dukungan dari para ulama dan punggawa kerajaan yang sudah muak dengan kelicikan dan kekejaman Belanda.
Bulan Agustus 1859, Antasari bersama pasukan Haji Buyasin, Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman berhasil menyerang benteng Belanda di Tabanio. Kemudian pasukan Surapati berhasil menenggelamkan kapal Belanda, Onrust, dan merampas senjata yang ada di kapal tersebut di Lontotuor, Sungai Barito Hulu.
Dengan demikian, Perang Banjar semakin meluas. Memasuki bulan Agustus-September tahun 1859 pertempuran rakyat Banjar terjadi di tiga lokasi, yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut, serta sepanjang Sungai Barito.
Pertempuran di sekitar Banua Lima dipimpinan oleh Tumenggung Jalil. Pertempuran di sekitar Martapura dan Tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman. Sementara itu, pertempuran di sepanjang Sungai Barito dikomandani oleh Pangeran Antasari.
Kiai Demang Lehman yang berusaha mempertahankan benteng Tabanio diserbu tentara Belanda. Pertempuran sengit terjadi dan banyak membawa korban. Sembilan orang serdadu Belanda tewas. Belanda kemudian meningkatkan jumlah pasukannya.
Benteng Tabanio berhasil dikepung oleh Belanda. Demang Lehman dan pasukannya dapat meloloskan diri. Demang Lehman kemudian memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan di Gunung Lawak, Tanah Laut.
Benteng ini juga diserbu tentara Belanda. Setelah bertahan matimatian, akhirnya Demang Lehman meninggalkan benteng itu karena sudah banyak pengikutnya yang menjadi korban. Kekalahan Demang Lehman di benteng Gunung Lawak tidak memupuskan semangat juang melawan Belanda sebab mereka yakin perang ini merupakan perang sabil.
Pada bulan September Demang Lehman dan para pemimpin lain seperti Tumenggung Jalil dan Pangeran Muhammad Aminullah meninggalkan medan pertempuran di Tanah Laut menuju Kandangan untuk mengadakan perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang yang lain.
Pertemuan di Kandangan menghasilkan kesepakatan yang intinya para pemimpin pejuang Perang Banjar menolak tawaran berunding dengan Belanda, dengan merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai berikut:
- pemusatan kekuatan perlawanan di daerah Amuntai;
- membuat dan memperkuat pertahanan di Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan;
- Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas;
- mengusahakan tambahan senjata.
Dalam pertemuan itu semua yang hadir mengangkat sumpah untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar tanpa kompromi : “Haram Manyarah Waja sampai Kaputing”. Para pejuang tidak akan menyerah sampai titik darah yang penghabisan.
Setelah pertemuan itu perlawanan terus berkobar di berbagai tempat. Untuk menghadapi berbagai serangan itu Belanda juga terus memperkuat pasukan dan membangun benteng-benteng pertahanan seperti di Tapin, memperkuat Benteng Munggu Thayor, serta Benteng Amawang di Kandangan.
Demang Lehman berusaha menyerang Benteng Amawang tersebut, tetapi gagal. Setelah itu, Demang Lehman dan pasukannya mundur menuju daerah Barabai untuk memperkuat pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah.
Perlu diketahui bahwa Pangeran Hidayatullah meninggalkan Martapura dan berkumpul dengan seluruh anggota keluarga, yang diikuti pasukannya ia berangkat ke Amuntai. Meskipun tidak dengan perangkat kebesaran, oleh para ulama dan semua pengikutnya, Hidayatullah diangkat sebagai sultan.
Setelah itu Sultan Hidayatullah menyatakan perang jihad f sabilillah terhadap orang-orang Belanda. Dalam gerakannya menuju Amuntai pasukannya melakukan serangan ke pos-pos Belanda. Gerakan perlawanan Pangeran Hidayatullah kemudian dipusatkan di Barabai.
Datanglah kemudian pasukan Demang Lehman untuk memperkuat pasukan Hidayatullah. Menghadapi pasukan gabungan itu Belanda di bawah G.M. Verspyck mengerahkan semua kekuatan pasukan yang ada.
Pasukan infanteri dari Batalion VII, IX, XIII semua dikerahkan, ditambah 100 orang petugas pembawa perlengkapan perang dan makanan. Juga mengerahkan kapal-kapal perang dari Suriname, Bone, dan kapal-kapal kecil. Terjadilah pertempuran sengit.
Dengan seruan “Allahu Akbar” pasukan Hidayatullah dan Demang Lehman menyerbu menghadapi kekuatan tentara Belanda. Mereka dengan penuh keberanian menghadapi musuh karena yakin mati dalam perang ini adalah syahid.
Tetapi kekuatan tidak seimbang, pasukan Belanda lebih unggul dari jumlah pasukan maupun senjata, maka Hidayatullah dan Demang Lehman menarik mundur pasukannya. Kemudian membangun pertahanan di Gunung Madang.
Semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk segera menangkap Pangeran Hidayatullah. Pertahanan di Gunung Madang pun jebol. Pangeran Hidayatullah dengan sisa pasukannya kemudian berjuang berpindah-pindah, bergerilya dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain.
Namun Belanda terus memburu dan mempersempit ruang gerak pasukan Hidayatullah. Akhirnya pada tanggal 28 Februari 1862 Hidayatullah berhasil ditangkap bersama anggota keluarga yang ikut bergerilya. Hidayatullah bersama anggota keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Berakhirlah perlawanan Pangeran Hidayatullah. Sementara itu Pangeran Antasari terus melanjutkan perlawanan. Oleh para pengikutnya Antasari kemudian diangkat sebagai pejuang dan pemimpin tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Kalifatullah Mukminin.
Posting Komentar untuk "Sejarah Perang Banjar "