Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811)

Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris. Sebagai pemimpin yang ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf, Daendels harus memperkuat pertahanan dan memperbaiki administrasi pemerintahan. Daendels juga ditugasi untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi di Nusantara khususnya di tanah Jawa. Tampaknya Jawa menjadi sangat penting dan strategis dalam mengatur pemerintahan kolonial di Nusantara, sehingga menyelamatkan dan mempertahankan Jawa menjadi sangat penting. Daendels adalah kaum patriot dan berpandangan liberal. Ia kaum muda yang berasal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak lupa mengutip semboyan Revolusi Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia. Oleh karena itu, ia ingin memberantas praktik-praktik yang dinilai feodalistik. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik Bataaf). Langkah ini juga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus membatasi hak-hak para bupati yang terkait dengan penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga rakyat.

Dalam rangka mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesan dari pemerintah induk (Republik Bataaf), Daendels melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut bidang pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.

A. Bidang Pertahanan dan Keamanan 

Dalam rangka melaksanakan tugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendels melakukan langkah-langkah: 

  1. membangun benteng-benteng pertahanan baru, seperti benteng Meester Cornelis; 
  2. membangun pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujungkulon. Namun pembangunan pangkalan di Ujungkulon boleh dikatakan tidak berhasil; 
  3. meningkatkan jumlah tentara, dengan mengambil orang-orang pribumi karena pada waktu pergi ke Nusantara, Daendels tidak membawa pasukan. Oleh karena itu, Daendels segera menambah jumlah pasukan yang diambil dari orang-orang pribumi, yakni dari 4.000 orang menjadi 18.000 orang (baca Ricklefs, 2005);
  4. membangun jalan raya dari Anyer (Jawa Barat, sekarang Provinsi Banten) sampai Panarukan (ujung timur Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur) sepanjang kurang lebih 1.100 km. Jalan ini dinamakan Jalan De Groote Postweg yang oleh masyarakat sering disebut dengan jalan Daendels.

Pelaksanaan program pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan tersebut telah merubah citra Daendels. Pada awalnya Daendels dikenal sebagai tokoh muda yang demokratis dan dijiwai panji-panji Revolusi Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite dan fraternite. Namun setelah memegang tampuk pemerintahan, ia berubah menjadi diktator. Daendels juga mengerahkan rakyat untuk kerja rodi. Kerja rodi itu membuat rakyat yang sudah jatuh miskin menjadi semakin menderita, apalagi kerja rodi dalam pembuatan pangkalan di Ujungkulon. Lokasi yang begitu jauh, sulit dicapai dan penuh dengan sarang nyamuk malaria, menyebabkan banyak rakyat yang menjadi korban. Banyak rakyat Hindia yang jatuh sakit bahkan tidak sedikit yang meninggal.

B. Bidang Politik dan Pemerintahan 

Daendels juga melakukan berbagai perubahan di bidang pemerintahan. Ia banyak melakukan campur tangan dan perubahan dalam tata cara dan adat istiadat di kerajaan-kerajaan di Jawa. Kalau sebelumnya pejabat VOC datang berkunjung ke istana Kasunanan Surakarta ataupun Kasultanan Yogyakarta ada tata cara tertentu, misalnya harus memberi hormat kepada raja, tidak boleh memakai payung emas, kemudian membuka topi dan harus duduk di kursi yang lebih rendah dari dampar (kursi singgasana raja), Daendels tidak mau menjalani seremoni yang seperti itu. Ia harus pakai payung emas, duduk di kursi sama tinggi dengan raja, dan tidak perlu membuka topi. Sunan Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta terpaksa menerima, tetapi Sultan Hamengkubuwana II menolaknya (Baca Ricklefs, 2005). Penolakan Hamengkubuwana II terhadap kebijakan Daendels menyebabkan terjadinya perseteruan antara kedua belah pihak. Inilah benih-benih nasionalisme yang tumbuh di lingkungan Kasultanan Yogyakarta. Untuk memperkuat kedudukannya di Jawa, Daendels berhasil mempengaruhi Mangkunegara II untuk membentuk pasukan “Legiun Mangkunegara” dengan kekuatan 1.150 orang prajurit. Pasukan ini siap sewaktu-waktu untuk membantu pasukan Daendels apabila terjadi perang. Dengan kekuatan yang ia miliki, Daendels semakin congkak dan berani. Daendels mulai melakukan intervensi terhadap pemerintahan di Kasunanan Surakarta dan juga Kasultanan Yogyakarta.

Melihat bentuk intervensi dan kesewenang-wenangan Daendels itu, Raden Rangga mulai melancarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Raden Rangga adalah kepala pemerintahan mancanegara di Madiun yang merupakan bawahan Kasultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, Sultan Hamengkubuwana II mendukung adanya perlawanan yang dilancarkan Raden Rangga. Namun perlawanan Raden Rangga ini segera dapat ditumpas dan Raden Rangga sendiri terbunuh. Setelah berhasil mematahkan perlawanan Raden Rangga, Daendels kemudian memberikan ultimatum kepada Sultan Hamengkubuwana II agar menyetujui pengangkatan kembali Danureja II sebagai patih dan Sultan harus menanggung kerugian perang akibat perlawanan Raden Rangga. Sultan Hamengkubuwana II menolak ultimatum itu. Akibatnya, pada Desember 1810 Daendels berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 3.200 orang serdadu. Dengan kekuatan ini Daendels berhasil memaksa Hamengkubuwana II untuk turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada puteranya sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Hamengkubuwana III ini sering disebut Sultan Raja dan Hamengkubuwana II sering disebut Sultan Sepuh. Sekalipun sudah diturunkan dari tahta, Sultan Hamengubuwana II atau Sultan Sepuh ini masih diizinkan tinggal di lingkungan istana. Selain hal-hal di atas, Daendels juga melakukan beberapa tindakan yang dapat memperkuat kedudukannya di Nusantara. Beberapa tindakan yang dimaksud adalah sebagai berikut. 

  1. membatasi secara ketat kekuasaan raja-raja di Nusantara; 
  2. Daendels memerintah secara sentralistik yang kuat dengan membagi Pulau Jawa menjadi 23 wilayah besar (hoofdafdeeling) yang kemudian dikenal dengan keresidenan (residentie). Tiap karesidenan dapat dibagi menjadi beberapa kabupaten (regentschap) (Suhartono, “Dampak Politik Hindia Belanda (1800-1830)”, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). 
  3. berdasarkan Dekrit 18 Agustus 1808, Daendels juga telah merombak Provinsi Jawa Pantai Timur Laut menjadi 5 prefektur. (wilayah yang memiliki otoritas) dan 38 kabupaten. Terkait dengan ini maka Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan dan daerahnya dinyatakan sebagai wilayah pemerintahan kolonial; 
  4. kedudukan bupati sebagai penguasa tradisional diubah menjadi pegawai pemerintah (kolonial) yang digaji. Sekalipun demikian para bupati masih memiliki hak-hak feodal tertentu.  

Jumlah Keresidenan di Pulau Jawa pada masa pemerintahan Daendels. 

  1. Tegal 
  2. Bagelen 
  3. Banyumas 
  4. Cirebon 
  5. Priangan 
  6. Karawang 
  7. Buitenzorg (Bogor) 
  8. Banten 
  9. Batavia (Jakarta) 
  10. Surakarta 
  11. Yogyakarta 
  12. Banyuwangi 
  13. Besuki 
  14. Pasuruan 
  15. Kediri 
  16. Surabaya 
  17. Rembang 
  18. Madiun 
  19. Pacitan 
  20. Jepara 
  21. Semarang 
  22. Kedu 
  23. Pekalongan

C. Bidang Peradilan 

Untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, Daendels juga melakukan perbaikan di bidang peradilan. Daendels berusaha memberantas berbagai penyelewengan dengan mengeluarkan berbagai peraturan. 
  1. Daendels membentuk tiga jenis peradilan: (1) peradilan untuk orang Eropa, (2) peradilan untuk orang-orang Timur Asing, dan (3) peradilan untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk kaum pribumi dibentuk di setiap prefektur, misalnya di Batavia, Surabaya, dan Semarang; dan 
  2. peraturan untuk pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi diberlakukan terhadap siapa saja termasuk orang-orang Eropa, dan Timur Asing.

D. Bidang Sosial Ekonomi 

Daendels juga diberi tugas untuk memperbaiki keadaan di Tanah Hindia, sembari mengumpulkan dana untuk biaya perang. Oleh karena itu, Daendels melakukan berbagai tindakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan Daendels itu misalnya:
  1. Daendels memaksakan berbagai perjanjian dengan penguasa Surakarta dan Yogyakarta yang intinya melakukan penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya daerah Cirebon; 
  2. meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak dan penjualan tanah kepada swasta; 
  3. meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia; 
  4. rakyat diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya; 
  5. melakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta; 

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811) "

close