Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa
hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang mengalihkan kegiatan
perdagangannya dari Malaka ke Aceh. Dengan demikian, perdagangan di
Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi
bandar dan pusat perdagangan. Kerajaan Aceh muncul sebagai kekuatan
baru, yang berhasil menguasai daerah perdagangan seperti di pantai timur
Sumatera sebelah utara. Bahkan Aceh kemudian mampu mengendalikan
pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatera, seperti di Barus, Tiku,
dan Pariaman. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat al-Kahar
(1537-1568) terkenal sebagai tokoh yang meng-aceh-kan kawasan pantai
barat Sumatera.
Tampilnya Aceh sebagai kekuatan ekonomi dan politik di kawasan pantai
Sumatera Barat dan pantai timur Sumatera, sangat disegani oleh pedagangpedagang asing. Pedagang-pedagang asing seperti dari Perancis, Inggris,
Belanda kalau ingin berdagang di wilayah pantai barat Sumatera dan tempattempat lain yang menjadi daerah kekuasaan Aceh harus minta izin kepada
Aceh.
Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai
ancaman. Oleh karena itu, Portugis berupaya untuk menghancurkan Aceh.
Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh. Kembali Portugis
tahun berikutnya melancarkan serangan ke Aceh. Beberapa serangan
Portugis ini mengalami kegagalan. Portugis terus mencari cara untuk
melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis
selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh dimanapun berada. Tindakan
Portugis ini tidak dapat dibiarkan. Aceh yang ingin berdaulat dan tetap
dapat mengendalikan perdagangan di beberapa pelabuhan penting di
Sumatera, merencanakan untuk melakukan perlawanan. Sebagai persiapan
Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:
- melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam
dan prajurit;
- mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa
ahli dari Turki pada tahun 1567
- mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.
Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan
terhadap Portugis di Malaka. Portugis harus bertahan mati-matian di Benteng
Formosa. Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga
serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun
1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini
juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh.
Sementara itu, para pedagang Belanda juga ingin mendapatkan keuntungan
dengan berdagang di pantai barat Sumatera, bahkan kalau perlu dapat
melakukan monopoli. Oleh karena itu, VOC harus bersaing dengan Portugis
dan harus mendapat izin dari Aceh. Padahal Aceh dikenal anti terhadap
dominasi dan para pedagang asing. Terkait dengan ini para pedagang
Belanda melalui Pangeran Maurits pernah berkirim surat kepada Raja
Aceh, Alauddin tertanggal 23 Agustus 1601. Dalam surat dipenuhi dengan
kata-kata sanjungan dan puji-pujian kepada Sultan Alauddin dan rakyat
Aceh. Dalam surat itu juga dicantumkan kata-kata yang menjelek-jelekkan
Portugis, dan juga dicantumkan tawaran bantuan untuk mengusir orangorang Portugis. Surat itu kemudian ditutup dengan kalimat: “ Mencium
tangan Yang Mulia, dari hamba, Maurits de Nassau” Pada waktu utusan
Pangeran Maurits itu menyerahkan surat tersebut juga disertai dengan
sejumlah hadiah dan hantaran (Uka Tjandrasasmita, “Persaingan di Pantai
Barat Sumatera: dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). Dengan
surat ini ternyata Sultan Aceh yang kebetulan sedang bermusuhan dengan
Portugis, dapat menerima kehadiran para pedagang Belanda. Bahkan pada
tahun 1607 Aceh memberikan izin kepada VOC untuk membuka loji di Tiku
di pantai Barat Sumatera.
Apapun yang terjadi, rakyat Aceh dan para pemimpinnya tetap memiliki
pendirian dan semangat untuk terus berdaulat dan menentang dominasi
orang asing. Oleh karena itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir
Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air
dan mengusir penjajahan asing semakin meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan Iskandar Muda ini mulai memutuskan hubungan dan menolak
kehadiran VOC. Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercitacita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari
Malaka. Iskandar Muda juga menentang kesewenang-wenangan VOC yang
sudah berkuasa di Batavia.
Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha
untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat
dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit.
Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia bahkan, Aceh
juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk
mengamankan wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan
Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan.
Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di
Pariaman. Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang.
Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda
melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis
sempat kewalahan. Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara
dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun,
serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka.
Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk. Bentrokan-bentrokan
antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak
berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir
Portugis dari Malaka. Portugis dapat diusir dari Malaka oleh VOC pada tahun
1641, setelah VOC bersekutu dengan Kesultanan Johor.
Location:
Indonesia
Bona Pasogit
Content Creator, Video Creator and Writer
Posting Komentar untuk "Aceh Versus Portugis dan VOC "