Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan
Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:
- Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
- Menyusun dan merencanakan Repelita;
- Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
- Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
- Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.
Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan ‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan). Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar. Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada 1971.
Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970. Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150) Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa “demokrasi parlementer”.
Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol, melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Namun adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain. Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR. (Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).
Di samping melakukan penyederhanaan partai, pemerintah menetapkan pula konsep “massa mengambang”. Partai-partai dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat kecamatan sampai pedesaan. Sementara itu jalur parpol ke tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya ketentuan agar pegawai negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar (monoloyalitas).
Pemerintahan Orde Baru berhasil melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat. Semua pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan oleh pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde Baru untuk mendukung Golkar. Kekuatan-kekuatan penyokong Golkar adalah aparat pemerintah (pegawai negeri sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Melalui kekuatan-kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk memilih Golkar. Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara langsung, para anggota keluarga dan pensiunan ABRI (Purnawirawan) banyak terlibat dan memberikan dukungan penuh kepada Golkar. Semua pegawai negeri sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar. Dengan dukungan pegawai negeri sipil dan ABRI, Golkar dengan leluasa menjangkau masyarakat luas di berbagai tempat dan tingkatan. Dari tingkatan masyarakat atas sampai bawah. Dari kota sampai pelosok desa. Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta dengan baik. Apalagi pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan slogan “Luber” (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Suara-suara ketidakpuasan dari masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan. Ketidakpuasan yang ada di masyarakat misalnya mengenai dibatasinya jumlah partai-partai politik dan pengerahan pegawai negeri sipil dan ABRI, serta anggota keluarga mereka untuk mendukung Golkar. Selain melakukan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan partai politik) di tingkat kecamatan dan desa (dimana partai-partai politik dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat pedesaan, depolitisasi juga diberlakukan di dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974.
Peristiwa 15 Januari 1974 Menjelang kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka, pada 15 Januari 1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang disusul dengan aksi anarki. Proyek Senen, gedung Toyota Astra, sejumlah toko milik pedagang Cina di Jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, Glodok dan Cempaka Putih, terbakar habis karena aksi tersebut. Geger Jakarta ini mengejutkan jajaran aparat keamanan dan pemerintah, karena itu diberi julukan Malapetaka Lima Belas Januari yang populer dengan Malari (R.P Soejono ed, 2009:637)
Peristiwa itu diawali oleh kegiatan para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam grup-grup diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Kritik-kritik mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah mulai terjadi sejak awal tahun 1970-an, berawal dari grup-grup diskusi di kampus Universitas Indonesia (Salemba), berlanjut dengan keputusan para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi menentang kenaikan harga bensin dan menuntut pemberantasan korupsi. Para mahasiswa juga meminta pemerintah untuk meninjau kembali strategi pembangunan yang hanya menguntungkan kaum kaya. Pada akhir Repelita I mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan program pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Kebijakan ekonomi yang memberikan keistimewaan kepada investor Jepang, dinilai merugikan rakyat. Ketika mereka mendengar rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia pada tanggal 14 Januri 1974, para mahasiswa memanfaatkan momentum tersebut untuk berdemostrasi menyampaikan tuntutannya. Menjelang kedatangan PM Tanaka, para mahasiswa berdemonstrasi di depan kantor Ali Moertopo dengan membakar boneka-boneka yang menggambarkan diri PM Tanaka serta Sudjono Humardani, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden. Kemudian setelah Tanaka tiba di Indonesia, ribuan mahasiswa berbaris menuju pusat kota dengan menyebarkan plakat-plakat yang menuntut pembubaran Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi. Demonstrasi yang tadinya berjalan damai, tiba-tiba berubah menjadi liar tidak terkendali yang akhirnya berkembang menjadi huru-hara. Mobil-mobil Jepang dibakar, etalase gedung importir Toyota Astra Company dihancurkan, pabrik Coca Cola diserang, dan kompleks pertokoan Senen dijarah dan dibakar (Crouch, 1999:354). Sebagai buntut dari peristiwa tersebut, 700 orang ditahan dan 45 orang diantaranya dipenjara.
Untuk meredam gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK/028/1974 tentang petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan Dalam rangka Pembinaan Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi. Demonstrasi dilarang, kegiatan kemahasiswaan difokuskan pada bidang penalaran, seperti diskusi dan seminar. Selain mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road map idiologis, pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.
Trilogi Pembangunan
- Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
- Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Posting Komentar untuk "Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan "