Seperti dituturkan dalam pidato pertamanya, bahwa pemerintahannya akan
komitmen pada aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan ekonomisosial, meningkatkan kehidupan politik demokrasi dan menegakkan kepastian
hukum. Maka fokus perhatian pemerintahan Habibie diarahkan pada tiga
bidang tersebut.
a. Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan
Sehari setelah dilantik, B.J. Habibie telah berhasil membentuk kabinet
yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet Reformasi
Pembangunan terdiri dari 36 Menteri, yaitu 4 Menteri Negara dengan
tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang memimpin
Departemen, dan 12 Menteri Negara yang memimpin tugas tertentu. Dalam
Kabinet Reformasi Pembangunan tersebut terdapat sebanyak 20 orang yang
merupakan Menteri pada Kabinet Pembangunan era Soeharto. Kabinet
Reformasi Pembangunan terdiri dari berbagai elemen kekuatan politik dalam
masyarakat, seperti dari ABRI, partai politik (Golkar, PPP, dan PDI), unsur
daerah, golongan intelektual dari perguruan tinggi, dan lembaga swadaya
masyarakat. Untuk pertama kalinya sejak pemerintahan Orde Baru, Habibie
mengikutsertakan kekuatan sosial politik non Golkar, unsur daerah, akademisi,
profesional dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sehingga diharapkan terjadi sinergi dari semua unsur kekuatan bangsa tersebut. Langkah ini
semacam rainbow coalition yang terakhir kali diterapkan dalam Kabinet
Ampera.
Pada sidang pertama Kabinet Reformasi Pembangunan, 25 Mei 1998, B.J.
Habibie memberikan pengarahan bahwa pemerintah harus mengatasi krisis
ekonomi dengan dua sasaran pokok, yakni tersedianya bahan makanan pokok
masyarakat dan berputarnya kembali roda perekonomian masyarakat. Pusat
perhatian Kabinet Reformasi Pembangunan adalah meningkatkan kualitas,
produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat, dengan memberi peran
perusahaan kecil, menengah dan koperasi, karena terbukti memiliki ketahanan
ekonomi dalam menghadapi krisis.
Dalam sidang pertama kabinet itu juga, Habibie memerintahkan bahwa
departemen-departemen terkait secepatnya mengambil langkah persiapan dan
pelaksanaan reformasi, khususnya menyangkut reformasi di bidang politik,
bidang ekonomi dan bidang hukum. Perangkat perundang-undangan yang
perlu diperbaharui antara lain Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang
tentang Partai Politik dan Golkar, UU tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR dan DPRD, UU tentang Pemerintahan Daerah.
Menindaklanjuti tuntutan yang begitu kuat terhadap reformasi politik, banyak
kalangan menuntut adanya amandemen UUD 1945.Tuntutan amandemen
tersebut berdasarkan pemikiran bahwa salah satu sumber permasalahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini ada pada UUD 1945. UUD
1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden, tidak adanya
check and balances system, terlalu fleksibel, sehingga dalam pelaksanaannya
banyak yang disalah gunakan, pengaturan hak azasi manusia yang minim dan
kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.
b. Sidang Istimewa MPR 1998
Di tengah maraknya gelombang demonstrasi mahasiswa dan desakan kaum
intelektual terhadap legitimasi pemerintahan Habibie, pada 10-13 November
1998, MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk menentapkan langkah
pemerintah dalam melaksanakan reformasi di segala bidang. Beberapa hasil
yang dijanjikan pemerintah dalam menghadapi tuntutan keras dari mahasiswa
dan gerakan reformasi telah terwujud dalam ketetapan-ketetapan yang
dihasilkan MPR, antara lain:
- Terbukanya kesempatan untuk mengamandemen UUD 1945 tanpa
melalui referendum.
- Pencabutan keputusan P4 sebagai mata pelajaran wajib (Tap MPR
No.XVIII/MPR/1998).
- Masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya sampai
dua kali masa tugas, masing masing lima tahun (Tap MPR No.XIII/
MPR/1998).
- Agenda reformasi politik meliputi pemilihan umum, ketentuan
untuk memeriksa kekuasaan pemerintah, pengawasan yang baik dan
berbagai perubahan terhadap Dwifungsi ABRI.
- Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia,
mendorong kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers,
kebebasan berserikat, dan pembebasan tahanan politik dan narapidana
politik.
c. Reformasi Bidang Politik
Sesuai dengan Tap MPR No. X/MPR/1998, Kabinet Reformasi Pembangunan
telah berupaya melaksanakan sejumlah agenda politik, yaitu merubah budaya
politik yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya, seperti pemusatan
kekuasaan, dilanggarnya prinsip-prinsip demokrasi, terbatasnya partisipasi
politik rakyat, menonjolnya pendekatan represif yang menekankan keamanan
dan stabilitas, serta terabaikannya nilai-nilai Hak Azasi Manusia dan prinsip
supremasi hukum.
Beberapa hal yang telah dilakukan B.J Habibie adalah:
- Diberlakukannya Otonomi Daerah yang lebih demokratis dan
semakin luas. Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan
akan meminimalkan ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah
ditetapkan melalui Ketetapan MPR No XV/MPR/1998.
- Kebebasan berpolitik dilakukan dengan pencabutan pembatasan partai
politik. Sebelumnya. Dengan adanya kebebasan untuk mendirikan
partai politik, pada pertengahan bulan Oktober 1998 sudah tercatat
sebanyak 80 partai politik dibentuk. Menjelang Pemilihan Umum,
partai politik yang terdaftar mencapai 141 partai. Setelah diverifikasi
oleh Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 95 partai, dan yang
berhak mengikuti Pemilihan Umum sebanyak 48 partai saja. Dalam
hal kebebasan berpolitik, pemerintah juga telah mencabut larangan
mengeluarkan pendapat, berserikat, dan mengadakan rapat umum.
- Pencabutan ketetapan untuk meminta Surat Izin Terbit (SIT) bagi
media massa cetak, sehingga media massa cetak tidak lagi khawatir
dibredel melalui mekanisme pencabutan Surat Izin Terbit. Hal penting
lainnya dalam kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja media
massa adalah diberinya kebebasan untuk mendirikan organisasiorganisasi profesi. Pada era Soeharto, para wartawan diwajibkan
menjadi anggota satu-satunya organisasi persatuan wartawan yang
dibentuk oleh pemerintah. Sehingga merasa selalu dikontrol dan
dikendalikan oleh pemerintah.
- Dalam hal menghindarkan munculnya penguasa yang otoriter dengan
masa kekuasaan yang tidak terbatas, diberlakukan pembatasan masa
jabatan Presiden. Seorang warga negara Indonesia dibatasi menjadi
Presiden sebanyak dua kali masa jabatan saja.
d. Pelaksanaan Pemilu 1999
Pelaksanaan Pemilu 1999, boleh dikatakan sebagai
salah satu hasil terpenting lainnya yang dicapai Habibie
pada masa kepresidenannya. Pemilu 1999 adalah
penyelenggaraan pemilu multipartai (yang diikuti oleh
48 partai politik). Sebelum menyelenggarakan pemilu
yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang
partai politik, tentang pemilu, dan tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU,
presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil partai politik
dan wakil pemerintah. Hal yang membedakan pemilu 1999
dengan pemilu sebelumnya (kecuali pemilu 1955) adalah
dikuti oleh banyak partai politik. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan
untuk mendirikan partai politik. Dengan masa persiapan yang tergolong
singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini dapat dikatakan
sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.
Tidak seperti yang diprediksi dan dikhawatirkan oleh banyak pihak, ternyata
pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai tanpa ada kekacauan yang berarti
meski dikuti partai yang jauh lebih banyak, pemilu kali ini juga mencatat
masa kampanye yang relatif damai dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya 19 orang meninggal semasa kampanye, baik karena kekerasan maupun kecelakaan
dibanding dengan 327 orang pada pemilu 1997 yang hanya diikuti oleh
tiga partai. Ini juga menunjukkan rakyat kebanyakan lebih rileks melihat
perbedaan. Pemilu 1999, dinilai oleh banyak pengamat sebagai Pemilu yang
paling demokratis dibandingkan 6 kali pelaksanaan Pemilu sebelumnya.
Berdasarkan keputusan KPU, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), pada 1
September 1999, melakukan pembagian kursi hasil pemilu. Hasil pembagian
kursi itu menunjukan lima partai besar menduduki 417 kursi di DPR, atau
90,26 % dari 462 kursi yang diperebutkan. PDI-P muncul sebagai pemenang
pemilu dengan meraih 153 kursi. Golkar memperoleh 120 kursi, PKB 51
Kursi, PPP 48 kusi, dan PAN 34 kursi.
e. Pelaksanaan Referendum Timor-Timur
Satu peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J.
Habibie adalah diadakannya Referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk
menyelesaikan permasalahan Timor-Timur yang merupakan warisan dari
pemerintahan sebelumnya. Harus diakui bahwa integrasi Timor-Timur (TimTim) ke wilayah RI tahun 1975 yang dikukuhkan oleh TAP MPR No.VI/
M7PR/1978, atas kemauan sebagian warga Timor-Timur tidak pemah
mendapat pengakuan internasional. Meskipun sebenarnya Indonesia tidak
pernah mengklaim dan berambisi menguasai wilayah Tim-Tim. Banyak
pengorbanan yang telah diberikan bangsa Indonesia, baik nyawa maupun
harta benda, untuk menciptakan perdamaian dan pembangunan di Tim-Tim,
yang secara historis memang sering bergejolak antara yang pro integrasi
dengan yang kontra. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat bahkan
melebihi dari apa yang diberikan kepada provinsi-provinsi lain untuk mengejar
ketertinggalan. Namun sungguh disesalkan bahwa segala upaya itu tidak
pernah mendapat tanggapan yang positif, baik di lingkungan internasional
maupun di kalangan masyarakat Timor-Timur sendiri.
Di berbagai forum internasional posisi Indonesia selalu dipojokkan. Sebanyak
8 resolusi Majelis Umum PBB dan 7 resolusi Dewan Keamanan PBB telah
dikeluarkan.
Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa untuk memulihkan
citra Indonesia, tidak memiliki pilihan lain kecuali berupaya menyelesaikan
masalah Timor-Timur dengan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat
internasional. Dalam perundingan Tripartit Indonesia menawarkan gagasan
segar, yaitu otonomi yang luas bagi Timor-Timur. Gagasan itu disetujui oleh
Portugal namun dengan prinsip yang berbeda, yaitu otonomi luas ini sebagai
solusi antara (masa transisi antara 5-10 tahun) bukan solusi akhir seperti yang ditawarkan Indonesia. Pihak-pihak yang tidak menyetujui integrasi tetap
menginginkan dilakukan referendum, untuk memastikan rakyat ‘Timor-Timur
memilih otonomi atau kemerdekaan.
Bagi Indonesia adalah lebih baik menyelesaikan masalah Timor-Timur
secara tuntas, karena akan sulit mewujudkan Pemerintahan Otonomi Khusus,
sementara konflik terus berlarut-larut dan masing-masing pihak yang bertikai
akan menyusun kekuatan untuk memenangkan referendum. Karena itu, melalui
kajian yang mendalam dan setelah berkonsultasi dengan Pimpinan DPR dan
Fraksi-Fraksi DPR, pemerintah menawarkan alternatif lain. Jika mayoritas
rakyat Timor-Timur menolak Otonomi Luas dalam sebuah “jajak pendapat”,
maka adalah wajar dan bijaksana bahkan demokratis dan konstitusional, jika
pemerintah mengusulkan Opsi kedua kepada Sidang Umum MPR, yaitu
mempertimbangkan pemisahan Timor-Timur dari NKRI secara damai, baikbaik dan terhormat.
Rakyat Timor-Timur melakukan jajak pendapat pada 30 Agustus 1999
sesuai dengan Persetujuan New York. Hasil jajak pendapat yang diumumkan
PBB pada 4 September 1999, adalah 78.5% menolak dan 21,5% menerima.
Setelah jajak pendapat ini telah terjadi berbagai bentuk kekerasan, sehingga
demi kemanusiaan Indonesia menyetujui percepatan pengiriman pasukan
multinasional di Timor–Timur.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
Pembukaan UUD ‘45, bahwa kemerdekaan adalah hak
segala bangsa, maka Presiden Habibie mengharapkan
MPR berkenan membahas hasil jajak pendapat tersebut
dan menuangkannya dalam ketetapan yang memberikan
pengakuan terhadap keputusan rakyat Timor-Timur. Sesuai
dengan perjanjian New York, ketetapan tersebut mensahkan
pemisahan Timor-Timur dan RI secara baik, terhormat
dan damai, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa
Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional
yang bertanggung jawab, demokratis, dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
f. Reformasi Bidang Ekonomi
Sesuai dengan Tap MPR tentang pokok-pokok reformasi yang menetapkan
dua arah kebijakan pokok di bidang ekonomi, yaitu penanggulangan krisis
ekonomi dengan sasaran terkendalinya nilai rupiah dan tersedianya kebutuhan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga terjangkau, serta berputarnya roda
perekonomian nasional, dan pelaksanaan reformasi ekonomi.
Kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie dilakukan dengan mengikuti
saran-saran dari Dana Moneter Internasional yang dimodifikasi dengan
mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia yang semakin
memburuk. Reformasi ekonomi mempunyai tiga tujuan utama yaitu:
- Merestrukturisasi dan memperkuat sektor keuangan dan perbankan.
- Memperkuat basis sektor riil ekonomi.
- Menyediakan jaringan pengaman sosial bagi mereka yang paling
menderita akibat krisis.
Secara perlahan presiden Habibie berhasil membawa perekonomian melangkah
ke arah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi yang
sangat buruk, ketika terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional dari
Soeharto kepada Habibie. Pemerintahan Habibie berhasil menurunkan
laju inflasi dan distribusi kebutuhan pokok mulai kembali berjalan dengan
baik. Selain itu, yang paling signifikan adalah nilai tukar rupiah mengalami
penguatan secara simultan hingga menyentuh Rp. 6.700,-/dolar AS pada bulan
Juni 1999. Padahal pada bulan yang sama tahun sebelumnya masih sekitar
Rp. 15.000,-/dollar AS. Meski saat naiknya eskalasi politik menjelang Sidang
Umum MPR rupiah sedikit melemah mencapai Rp. 8000,-/dolar AS.
Sesuai TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang penanggulangan krisis di bidang
sosial budaya yang terjadi sebagai akibat dan krisis ekonomi, Pemerintah
telah melaksanakan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program Jaring
Pengaman Sosial, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan, telah banyak
membantu masyarakat miskin dalam situasi krisis.
Pada masa Presiden B.J. Habibie pembangunan kelautan Indonesia mendapat
perhatian yang cukup besar. Pembangunan kelautan merupakan segala
sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perairan Indonesia
sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk didayagunakan dan
dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan bangsa Indonesia.
g. Reformasi Bidang Hukum
Sesuai Tap MPR No.X/MPR/1998 reformasi di bidang hukum diarahkan
untuk menanggulangi krisis dan melaksanakan agenda reformasi di bidang
hukum yang sekaligus dimaksudkan untuk menunjang upaya reformasi di
bidang ekonomi, politik dan sosial budaya. Keberhasilan menyelesaikan 68 produk perundang-undangan dalam waktu
yang relatif singkat, yaitu hanya dalam waktu 16 bulan. Setiap bulan ratarata dapat dihasilkan sebanyak 4,2 undang-undang yang jauh melebihi angka
produktivitas legislatif selama masa Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak
4,07 undang-undang per tahun (0,34 per bulan).
Untuk meningkatkan kinerja aparatur penegak hukum, organisasi kepolisian
telah dikembangkan keberadaannya sehingga terpisah dari organisasi Tentara
Nasional Indonesia. Dengan demikian, fungsi kepolisian negara dapat lebih
terkait ke dalam kerangka sistem penegakan hukum.
Tekad untuk mengadakan reformasi menyeluruh dalam kehidupan nasional,
telah berulang kali ditegaskan oleh B.J Habibie bahwa Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertinggi negara yang selama ini seakanakan disakralkan haruslah ditelaah kembali untuk disempurnakan sesuai
dengan kebutuhan zaman. Penyempurnaan Undang-Undang Dasar dipandang
penting untuk menjamin agar pemerintahan di masa-masa yang akan datang
semakin mengembangkan sesuai dengan semangat demokrasi dan tuntutan
ke arah perwujudan masyarakat madani yang dicita-citakan. Untuk itu
pada era pemerintahan B.J. Habibie Ketetapan MPR No 11/1978 mengenai
keharusan dilakukannya referendum terlebih dahulu sebelum diberlakukannya
amandemen terhadap Undang-undang Dasar dicabut.
Pada tanggal 1 sampai 21 Oktober 1999, diadakan Sidang Umum MPR
hasil pemilu 1999. Tanggal 1 Oktober 1999, 700 anggota DPR/MPR periode
1999-2004 dilantik.
Lewat mekanisme voting, Amin Rais dari Partai Amanat
Nasional (PAN) terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung dari Partai
Golkar terpilih sebagai Ketua DPR. Pada 14 Oktober 1999, Presiden B.J.
Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang
Umum MPR. Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi atas pidato pertanggung
jawaban Presiden Habibie tanggal 15-16 Oktober 1999, dari sebelas fraksi
yang menyampaikan pemandangan umumnya, hanya empat fraksi yang secara
tegas menolak, sedangkan enam fraksi lainnya masih belum menentukan
putusannya. Kebanyakan fraksi itu memberikan catatan serta pertanyaan
balik atas pertanggungjawaban Habibie itu. Pada umumnya masalah yang
dipersoalkan adalah masalah Timor-Timur, pemberantasan KKN, masalah
ekonomi dan masalah Hak Azasi Manusia.
Setelah mendengar jawaban Presiden Habibie atas pemandangan umum fraksifraksi, MPR dalam sidangnya tanggal 20 Oktober 1999, dini hari akhirnya
menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie melalui proses voting. Tepat
pukul 00.35 Rabu dini hari, Ketua MPR Amin Rais menutup rapat paripurna
dengan mengumumkan hasil rapat bahwa pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak pagi harinya, 20 Oktober 1999, pada pukul 08.30 di rumah
kediamannya. Presiden Habibie memperlihatkan sikap kenegarawanannya
dengan menyatakan bahwa dia ikhlas menerima keputusan MPR yang
menolak laporan pertanggung jawabannya. Pada kesempatan itu, Habibie juga
menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan presiden periode berikutnya.
Pada 20 Oktober 1999, Rapat Paripurna ke-13 MPR dengan agenda pemilihan
presiden dilaksanakan. Beberapa calon diantaranya adalah Abdurrahman
Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra. Calon yang
disebut terakhir menyatakan pengunduran dirinya beberapa saat menjelang
dilaksanakannya voting pemilihan presiden. Lewat dukungan poros tengah
(koalisi partai-partai Islam) Abdurrahman Wahid memenangkan pemilihan
presiden melalui proses pemungutan suara. Ia mengungguli Megawati yang
didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang nota bene
adalah pemenang pemilu 1999. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan
Presiden Habibie yang hanya berlangsung singkat kurang lebih 17 bulan.
Posting Komentar untuk "Masa Pemerintahan B.J. Habibie"