Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng merupakan gagasan dari Dr. Sumitro Joyohadikusumo. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakikatnya ialah pembangunan ekonomi baru. Hal yang perlu dilakukan yaitu mengubah struktur ekonomi umumnya dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional.
Program Benteng ini pada hakikatnya adalah suatu kebijaksanaan untuk melindungi usaha-usaha pribumi. Akan tetapi, usaha ini gagal. Hal ini disebabkan, para pengusaha Indonesia lambat dalam usahanya, bahkan ada yang menyalahgunakan bantuan pemerintah ini.
Latar Belakang Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Pada tahun 1950-an, ada tekanan politis yang meningkat agar kekuasaan ekonomi diambil dari perusahaan swasta Belanda yang masih ada di Indoensia saat itu, demi penyelesaian Revolusi. Namun, Indonesia masih memerlukan modal dan keterampilan asing untuk menghasilkan pembangunan ekonomi yang diperlukan menghadapi peningkatan jumlah penduduk.
Bulan Februari 1950, presiden Soekarno sudah sempat menyampaikan kepada kalangan perusahaan asing bahwa pemulihan ekonomi Indonesia setelah selesainya Revolusi memerlukan dikerahkannya segala sumber modal, baik asing maupun dalam negeri.
Tahun 1953 menteri Keuangan Ong Eng Die menyatakan bahwa peranan perusahaan asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia perlu dicantumkan secara jelas dalam rencana pembangunan mendatang.
Program Benteng merupakan suatu cara mengembangkan peranan orang Indonesia dalam ekonomi tanpa merugikan perusahaan asing, terutama Belanda.
Pelaksanaan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Program Benteng melewati sejumlah tahap, dengan pengubahan dalam banyak kesempatan. Program terutama mencakup impor, karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar. Lagipula, peranan Belanda sangat terasa di bidang ini, terutama lewat lima perusahaan niaga besar.
Pada mulanya yang ditekankan adalah barang mana yang wajib diimpor oleh pengusaha pribumi. Kemudian, yang dibicarakan adalah persyaratan mengenai kelayakan memperoleh lisensi impor. Tahun 1950 sudah sempat ditentukan bahwa paling tidak 70% dari pemegangan saham perusahaan harus dimiliki "bangsa Indonesia asli". Bulan Mei dan Juni 1953, debat mengenai penaikan persentase ini, termasuk tuduhan diskriminasi terhadap importir Tionghoa, berakibatkan jatuhnya Kabinet Wilopo.
Program Benteng ditinjau kembali bulan September 1955 oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dan menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo. Syarat berdasarkan suku dicabut dan diganti dengan persyaratan ketat mengenai pembayaran uang muka.
Dibentuknya Kabinet Karya di bawah Djuanda Kartawidjaja bulan Maret dan April 1957 ditandai dengan pengalihan ke "ekonomi terpimpin". Program Benteng resmi dihentikan.
Referensi : Wikipedia
Program Benteng ini pada hakikatnya adalah suatu kebijaksanaan untuk melindungi usaha-usaha pribumi. Akan tetapi, usaha ini gagal. Hal ini disebabkan, para pengusaha Indonesia lambat dalam usahanya, bahkan ada yang menyalahgunakan bantuan pemerintah ini.
Dr. Sumitro Joyohadikusumo |
Latar Belakang Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Pada tahun 1950-an, ada tekanan politis yang meningkat agar kekuasaan ekonomi diambil dari perusahaan swasta Belanda yang masih ada di Indoensia saat itu, demi penyelesaian Revolusi. Namun, Indonesia masih memerlukan modal dan keterampilan asing untuk menghasilkan pembangunan ekonomi yang diperlukan menghadapi peningkatan jumlah penduduk.
Bulan Februari 1950, presiden Soekarno sudah sempat menyampaikan kepada kalangan perusahaan asing bahwa pemulihan ekonomi Indonesia setelah selesainya Revolusi memerlukan dikerahkannya segala sumber modal, baik asing maupun dalam negeri.
Tahun 1953 menteri Keuangan Ong Eng Die menyatakan bahwa peranan perusahaan asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia perlu dicantumkan secara jelas dalam rencana pembangunan mendatang.
Program Benteng merupakan suatu cara mengembangkan peranan orang Indonesia dalam ekonomi tanpa merugikan perusahaan asing, terutama Belanda.
Pelaksanaan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Program Benteng melewati sejumlah tahap, dengan pengubahan dalam banyak kesempatan. Program terutama mencakup impor, karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar. Lagipula, peranan Belanda sangat terasa di bidang ini, terutama lewat lima perusahaan niaga besar.
Pada mulanya yang ditekankan adalah barang mana yang wajib diimpor oleh pengusaha pribumi. Kemudian, yang dibicarakan adalah persyaratan mengenai kelayakan memperoleh lisensi impor. Tahun 1950 sudah sempat ditentukan bahwa paling tidak 70% dari pemegangan saham perusahaan harus dimiliki "bangsa Indonesia asli". Bulan Mei dan Juni 1953, debat mengenai penaikan persentase ini, termasuk tuduhan diskriminasi terhadap importir Tionghoa, berakibatkan jatuhnya Kabinet Wilopo.
Program Benteng ditinjau kembali bulan September 1955 oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dan menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo. Syarat berdasarkan suku dicabut dan diganti dengan persyaratan ketat mengenai pembayaran uang muka.
Dibentuknya Kabinet Karya di bawah Djuanda Kartawidjaja bulan Maret dan April 1957 ditandai dengan pengalihan ke "ekonomi terpimpin". Program Benteng resmi dihentikan.
Referensi : Wikipedia
Posting Komentar untuk "Sistem Ekonomi Gerakan Benteng"